The Economy of Gimmick: Menelisik Fenomena ‘Settingan’ dalam Industri Hiburan
Manipulasi, rekayasa, dan desepsi sudah menjadi bagian intrinsik dari industri hiburan tanah air. Banyak dari konten hiburan di berbagai platform menggunakan hal-hal tersebut guna meningkatkan engagement dan rating. Konten-konten yang dianggap menyalahi norma mengundang hujatan dan kecaman dari sebagian penontonnya. Disusul dengan pro-kontra apakah konten setting-an layak menjadi konsumsi publik dan retorika bahwa konten tersebut sudah diregulasi oleh komisi penyiaran.
Saat menyalakan gadget, anda dapat dengan mudah menemukan konten yang berbau gimmick. Paparan yang bertubi-tubi sulit dihindari oleh publik yang pada kesehariannya tersambung dengan koneksi internet. Mulai dari sosial media, televisi, dan platform streaming penuh dengan promosi dan konten yang berlandaskan gimmick.
Tentunya kehadiran konten-konten tersebut bukan tanpa alasan. Namun, tidak sedikit dari mereka yang terpapar konten gimmick mempertanyakan kehadiran konten tersebut. Lantas apa yang dikategorikan sebagai gimmick? dan apa yang membuat konten ini sangat menjengkelkan? Lalu utilitas apa yang ditawarkan oleh industri ini?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, pertama-tama kita harus mendefinisikan gimmick itu sendiri. Secara harfiah dan dipandang dari sudut bahasa, kata “gimmick” menurut kamus Cambridge didefinisikan sebagai: Something that is not serious or of real value that is used to attract people’s attention or interest. Maka makna yang dapat kita garis bawahi dari pendefinisian kata gimmick menurut definisi tersebut yakni ialah hal yang dilakukan untuk mempengaruhi atau menarik perhatian orang.
Tidak untuk disalahartikan dengan The New Gimmick Economy, yang membahas tentang bank sentral. Gimmick yang dimaksud adalah teknik marketing yang digunakan dalam industri hiburan untuk menambah daya tarik program hiburan. Konten gimmick menjadi umpan efektif dalam hal menarik penonton. Dalam konteks tontonan di televisi dan konten hiburan di internet, ‘gimmick’ secara pasti memenuhi utilitas penonton.
Tren Acara Pseudo-reality show.
Acara reality show bermula pada era 1990-an ketika televisi menjadi barang yang mudah didapat semua kalangan. Konten reality show yang awalnya hanya tersedia di stasiun televisi luar negeri, menuntun arah perkembangan program stasiun TV lokal menuju genre reality show yang berkonsep sama.
Di Indonesia sendiri, acara reality show menjadi bagian dari dunia hiburan pada tahun 2000-an dengan program yang paling hits di zamannya Seperti Termehek-mehek, Uang Kaget, dan Bedah Rumah. Namun, seiring dengan berkembangnya platform hiburan, genre yang berasal dari televisi ini merambah ke berbagai dunia digital.
Menjual Hal Tabu
Sebagai contoh, konten yang dapat menggambarkan fenomena gimmick adalah ‘Rumah Uya’, salah satu program televisi yang menjadi anchor dalam skema reality show. Rumah Uya mem-branding programnya sebagai sarana untuk menyelesaikan masalah personal keluarga, dengan konflik verbal dan fisik dalam tayangannya. Bumbu-bumbu gimmick ini bertujuan untuk membangun emosi penonton dan menarik perhatian penonton agar tetap menonton acara mereka (Oktora,2020).
Kontradiktif dengan pengertian reality show yang merupakan salah satu gaya/aliran dalam pertelevisian yang menampilkan “real life” seseorang (Sugihartono, 2004). Konten rumah Uya yang merupakan acara ‘reality show’ yang dipenuhi dengan adegan gimmick atau rekayasa. Artinya, tidak benar-benar menampilkan realitas. (Oktora,2020).
Konten yang sarat akan penghinaan, objektifikasi gender, dan asmara sangat digandrungi oleh penikmat hiburan. Hal ini dibuktikan dengan rating TV share sebesar 10.7% untuk acara Rumah Uya saja. Tontonan tersebut juga menggambarkan bagaimana sebagian budaya dan orang diposisikan dan diinterpretasikan sebagai seseorang yang terbelakang dan membutuhkan perbaikan moral.
Meskipun demikian, tidak sedikit orang beranggapan bahwa konten gimmick tidak pantas untuk menjadi konsumsi masyarakat. Menurut website resmi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), banyak dari masyarakat mengeluhkan adanya indikasi “mengumbar aib dan konflik pribadi, serta dramatisasi adegan yang cenderung meragukan keasliannya”. Sedikitnya, ada sejumlah 59 aduan terhadap program Rumah Uya sepanjang tahun 2017.
Dengan mengkonsumsi acara yang berbau gimmick, secara tidak langsung memberikan utilitas kepada penonton yang gemar mengevaluasi emosi, watak, dan tubuh pemeran, yang seakan-akan terjadi pada kehidupan nyata penonton. Mereka menampilkan dan mendramatisasi diri mereka sendiri sebagai inadequate, dan membutuhkan self-investment (Skeggs, 2009).
Hal lain yang mungkin menjelaskan mengapa konten gimmick sangat diminati publik adalah kegunaan konten tersebut sebagai distraksi dari rutinitas dan penghilang kebosanan (Nabi et al, 2003). Singkatnya, penonton mencari dan mengonsumsi hal-hal yang tidak tercukupi dalam kehidupan sehari-harinya, secara spesifik tontonan berbau gimmick untuk memenuhi kebutuhan emosi dan stimulus-stimulus lainnya. Singkatnya, penonton mencari dan mengonsumsi hal-hal yang tidak tercukupi dalam kehidupan sehari-harinya. Secara spesifik tontonan berbau gimmick dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan emosi dan stimulus-stimulus lainnya.
Model bisnis acara seperti Rumah Uya sejalan dengan teori klasik supply and demand, yang pada esensinya program reality show gimmick ada dan berhasil untuk bertahan karena adanya permintaan untuk konten hiburan tersebut. Alhasil, program seperti ‘Rumah Uya’ telah menjadi salah satu program terbesar yang menghasilkan pendapatan sebesar Rp23,3 miliar selama tahun 2018.
Dalam Perspektif Ekonomi
Ada banyak hal yang dapat dipelajari dari fenomena acara gimmick dalam konteks ekonomi. Yang pertama, dari acara yang berbau gimmick kita dapat pelajaran bahwa dalam proses membuat keputusan individu mempertimbangkan nilai-nilai seperti kebanggaan dan kehormatan, seperti yang dicitrakan acara yang berbau gimmick. Dari acara yang berbau gimmick kita juga dapat belajar bahwa apa yang disajikan acara tersebut termasuk dalam konsep utilitas. Utilitas yang diberikan oleh program televisi yang berbau gimmick kepada penonton merepresentasikan kepuasan individu, yang terpenuhi kebutuhan dan kepuasannya dengan mengkonsumsi acara tersebut. Utilitas dalam konteks ini merupakan hal yang subjektif dan sulit untuk diukur untuk masing-masing individu, sehingga tidak bisa dikuantifikasikan dalam bentuk angka.
Yang kedua, sejalan dengan konsep yang lebih sederhana mengenai konsumsi barang dan jasa yang sangat dipengaruhi oleh preferensi masing masing penonton acara televisi. “Preferensi penonton dapat diungkapkan dengan menentukan acara apa yang dia tonton pada situasi yang berbeda”. Pernyataan tersebut secara singkat menjelaskan teori revealed preference yang diperkenalkan oleh Samuelson pada tahun 1938. Revealed preference theory dapat dijadikan landasan untuk menjelaskan preferensi penonton untuk mengkonsumsi tontonan tersebut. Lebih jauh lagi, preferensi program televisi yang berbau gimmick dapat dijelaskan dengan memvariasikan pendapatan penonton acara tersebut, dan/atau harga dari mengonsumsi tontonan tersebut. Dengan begitu dapat diambil kesimpulan yang representatif yang memodelkan preferensi penonton acara televisi berbau gimmick.
Dengan target audiens kalangan penonton berusia 13 tahun ke atas atau penonton golongan remaja, kehadiran program tersebut sukses untuk menyajikan hiburan yang memenuhi utilitas emosional kelompok umur tersebut. Dengan ini, dapat dikaji lebih mendalam terkait kelompok sosial yang secara dominan menikmati tayangan program berbau gimmick tersebut, sehingga dapat dibuktikan apabila penonton akan memiliki preferensi yang berbeda ketika berada di jenjang pendidikan yang lebih tinggi atau memiliki penghasilan yang lebih tinggi pada kelompok usia yang sama.
Kesimpulan
Ekonomi gimmick telah memperkuat pemikiran tentang konsep utilitas, dengan menunjukan perilaku pasar yang sejalan dengan asumsi teori klasik bahwa ada utilitas nilai yang terpenuhi dengan menonton konten yang sarat akan gimmick. Apabila konsep utilitas tidak dapat menjelaskan lebih rinci mengenai perilaku penonton, konsep preferensi dapat menjelaskan kondisi-kondisi dimana konsep ini menjelaskan perilaku penonton yang dapat diobservasi dan menghindarkan peneliti dari asumsi-asumsi yang kontroversial seperti, subjektivitas utilitas penonton dan konsep yang abstrak.
Artikel ini ditulis hanya dengan maksud memperluas wawasan audiens terhadap fenomena yang terjadi, suatu fenomena yang kontroversial dengan penjelasan ekonomi tersendiri. Terlepas dari kontroversi moralitas dan kelayakan program televisi yang berbau gimmick, mekanisme pasar sekali lagi telah menunjukan bahwa teori ekonomi dapat dibuktikan relevansinya dengan fenomena masa kini.
Diulas oleh: Haekal Azmi Ramadhan — Ilmu Ekonomi 2019 & Sabrina Hermawati — Ilmu Ekonomi 2020
Disunting oleh: Namira Dira Ramadhanti — Ilmu Ekonomi 2019
Referensi
Imai, T. (2015). Essays in Revealed Preference Theory and Behavioral Economics. PhD thesis, California Institute of Technology, Pasadena.
Baumol, W. J. (2017). Utility and value. Encyclopedia Britannica. Available at https://www.britannica.com/topic/utility-economics 25 April, 2021
Sugihartono, R. A. (2004). Reality Show, Sebuah Tren Baru Acara Pertelevisian. Jurnal Ornamen, 2(1), 71–78.
Oktora, D.D. (2020). Gimmick In The Reality Show Rumah Uya. Sekolah Tinggi Multi Media Yogyakarta, Indonesia.
Skeggs, B. (2009). The moral economy of person production: the class relations of self-performance on ‘reality’ television. The Sociological Review.
Nabi, R. L., Biely, E. N., Morgan, S. J., & Stitt, C. R. (2003). Reality-based television programming and the psychology of its appeal. Media Psychology, 5(4), 303–330.