Polemik Minyak Goreng Tak Kunjung Usai : Kegagalan Pemerintah Membayar Utang Rafaksi
Pasar menjadi tempat atau media dalam proses transaksi antara penjual dan pembeli. Mekanisme yang terbentuk selama proses transaksi ini menjadi penting dalam menentukan harga barang dan jasa serta menentukan alokasi sumber daya. Pasar yang efesien dapat memungkinkan kedua belah pihak yang bertransaksi mendapat keuntungan yang maksimal. Namun mekanisme pasar tidak selalu berhasil. Ada kondisi kegagalan dimana pasar tidak mampu mengalokasikan sumber daya dengan efesien dan menghasilkan hasil yang optimal. Hal ini dikarenakan adanya informasi yang tidak sempurna tentang pasar, eksternalitas, hingga biaya transaksi. Pada situasi ini campur tangan pemerintah diperlukan untuk memperbaiki situasi pasar.
Hal ini terlihat seperti pada kasus kelangkaan minyak goreng pada awal Januari 2022 yang lalu. Tingginya permintaan dan turunnya penawaran minyak goreng mengakibatkan kelangkaan dan membuat harga minyak goreng melambung tinggi. Fenomena ini sangat meresahkan masyarakat karena minyak goreng merupakan salah satu komoditas yang paling dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Pada awal tahun 2022 harga minyak goreng kemasan mencapai Rp 21.000 per liter. Angka ini tentu membuat masyarakat terutama menengah kebawah merasa kesulitaan.
Keresahan masyarakat dijawab oleh pemerintah dengan menetapkan harga eceran tertinggi (HET) untuk minyak goreng. Per tanggal 19 Januari 2022, Kementerian Perdagangan Indonesia telah menetapkan kebijakan yang mewajibkan perusahaan ritel dan pedagang sembako untuk menjual minyak goreng dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) sebesar Rp.14.000,-. per liter. Menurut Permendag Nomor 3 tahun 2022, pemerintah akan membayar selisih harga antara HET dan harga keekonomian (harga asli). Selisih biaya itu akan dibayar lewat Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Kegagalan Pemerintah Membayar Utang Rafaksi Minyak Goreng
Campur tangan pemerintah terhadap pasar tidak selalu memberikan output positif. Karena dalam beberapa kondisi pemerintah gagal dalam mencapai tujuannya. Kegagalan pemerintah adalah kondisi ketika pemerintah gagal mencapai tujuannya sebagai pelayan publik. Kegagalan pemerintah meliputi permasalahan demokrasi yang menyangkut ketidakadilan pelaksanaannya, permasalahan birokrat yang meliputi kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) dan ketidakefisienan partisipasi birokrat, permasalahan birokrasi yang menyangkut ketidakefisienan, ketidakjelasan, ketidaklengkapan dan ketiadaan peraturan pemerintah serta ketidaktepatan implementasinya, dan masalah desentralisasi yang menyangkut ketidaktepatan implementasi dalam pembagian tugas dan dana. Pada kasus minyak goreng kegagalan pemerintah disebabkan oleh ketidakmampuan pemerintah mencapai efisiensi dalam merencanakan dan melaksanakan kebijakan.
Baru-baru ini polemik minyak goreng kembali terpampang di papan berita. Utang pemerintah atas selisih HET dan harga asli (rafaksi) disebutkan masih belum dibayar ke pengusaha ritel modern. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 3 Tahun 2022 mengamanatkan bahwa pemerintah akan mengganti biaya yang telah ditanggung oleh pengusaha dalam memperoleh minyak goreng kemasan dengan harga antara Rp 17.000-Rp 24.000 per liter, yang kemudian akan dijual dengan harga Rp 14.000 per liter. Selisih biaya itu dibayarkan lewat Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Mandey, pemerintah memiliki hutang setidaknya Rp 344 miliar kepada 31 unit usaha ritel besar maupun kecil.
Namun dikabarkan bahwa pemerintah enggan membayar utang tersebut karena tidak ada pada anggaran APBN. Ketidaksediaan anggaran ini dikarenakan adanya pergantian kebijakan. Permendag №3 Tahun 2022 tentang kebijakan HET pada awalnya berlaku selama 6 bulan. Kendati demikian peraturan itu dicabut dan diganti dengan Permendab №6 Tahun 2022 dalam waktu kurang dari sebulan setelah peraturan sebelumnya disahkan. Pergantian ini membuat pemerintah tidak memiliki payung hukum yang cukup dalam mebayar utang senilai Rp 344 miliar tersebut.
Hal ini menuai kekesalan pengusaha ritel hingga mereka berencana berhenti menyediakan minyak goreng kemasan jika pemerintah tidak segera memberikan kepastian. Pengusaha ritel berpendapat bahwa kegagalan pemerintah dalam membayar utang pengadaan minyak goreng kemasan akan memperburuk iklim usaha di Indonesia. Jika tidak juga dibayar, neraca keuangan perusahan akan mengalami kerugian besar selain itu hal ini juga akan mengecewakan para investor domestik maupun internasional yang menanamkan modalnya di perusahan-perusahaan Aprindo.
Skema Kemungkinan Kerugian
Utang rafaksi minyak goreng harus segera dibayar oleh pemerintah. Jika tidak hal ini akan membuat perusahaan mengalami kerugian finansial bagi perusahaan. Seperti yang kita ketahui, pada awalnya perusahaan ritel membeli minyak goreng ke pabrik dengan harga asli, kemudian di jual sesuai dengan HET yang ditetapkan pemerintah. Namun hingga saat ini pemerintah belum juga membayar sehingga pada neraca keuangan perusahaan masuk ke akun piutang tidak tertagih. Ada selisih harga senilai Rp 7000 yang ditanggung oleh perusahaan ritel setiap liter minyak goreng yang dijual. Hal ini tentu sangat merugikan perusahaan ritel, karena sejak awal mereka merupakan perusahaan yang berada di bidang distribusi, bukan bidang produksi.
Kerugian inilah yang membuat pengusaha ritel mulai mengambil langkah serius. Jika pemerintah tidak kunjung membayar utang rafaksi minyak goreng, beberapa perusahaan ritel mengambil kebijakan dengan tidak lagi menjual minyak goreng di gerai mereka. Opsi penghentian penjualan minyak goreng berpotensi diterapkan pada 80 oersen dari 48.000 gerai ritel yang dikelola anggota Aprindo. Penghentian penjualan akan membuat siklus kelangkaan yang terjadi tahun lalu kembali terulang yang menyebabkan keresahan bagi masyarakat. Tidak hanya itu produsen minyak goreng di Indonesia turut mengami kerugian jika keputusan pengusaha ritel ini benar akan dilaksanakan.
Secara nasional distribusi minyak goreng dalam sebulan adalah 415 juta liter. Perusahaan yang merupakan distributor minyak goreng terbesar di Indonesia seperti Wilmar Group, PT Musim Mas, PT Smart Tbk, Asian Agri, dan Permata Hijau Group akan berdampak langsung. Perusahaan besar itu akan terus berproduksi, tapi jika perusahaan ritel tidak membeli minyak goreng maka produsen akan mengalami kerugian yang cukup besar karena minyak goreng bertumpuk di gudang dan sulit terjual.
Jika hal ini terus berlanjut, produsen akan mengurangi jumlah produksi minyak goreng yang akan turut mempengaruhi produksi minyak sawit. Badan Pusat Statistik melaporkan bahwa produksi minyak sawit RI mencapai 45,12 Juta ton pada 2021. BPS memperkirakan bahwa luas areal perkebunan kelapa sawit sebesar 14,62 juta hektar. Sebesar 8,04 juta hektar atau 55 persen perkebunan kelapa sawit dikuasai oleh perkebunan swasta; diikuti perkebunan rakyat yang menguasai 6,03 juta hektar atau 41,24 persen perkebunan kelapa sawit; serta sisanya 0,55 juta hektar atau 3,76 persen dikuasai oleh perkebunan besar negara.
Skema kerugian ini tidak hanya terlihat pada segi finansial kasat mata seperti ini saja. Kegagalan pemerintah dalam membayar utang terhadap perusahaan juga akan mempengaruhi pasar saham di Indonesia. Para investor baik domestik maupun internasional akan merasa kecewa. Ketidakmampuan pemerintah dalam membayar utang ini akan memberikan pandangan buruk bagi calon-calon investor yang sekiranya sedang menimbang untuk berinvestasi di Indonesia. Pemerintah dianggap tidak cakap dalam memberikan kepastian hukum bagi perusahan. Peluang investasi yang menurun dapat membatasi pengembangan sektor-sektor yang memerlukan investasi besar dan memberikan efek domino terhadap sektor lainnya.
Hal ini juga akan membuat turunnya kepercayaan perusahaan swasta terhadap pemerintah. Perusahaan akan enggan bekerja sama dengan pemerintah jika sewaktu-waktu terjadi polemik yang sama atau bahkan kasus yang lebih serius. Minimnya kerja sama antara perusahaan swasta dan pemerintah tentu akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional. Pemerintah akan sulit memenuhi kebutuhan masyarakat dan akan meningkatkan kemiskinan hingga kesenjangan sosial.
Tanggapan Terkini Pemerintah
Ancaman dari perusahaan ritel dengan skema kerugian yang sangat besar membuat pemerintah tergerak melakukan diskusi bersama Ketua Aprindo dan produsen minyak goreng. Direktur Jendral Perdagangan Dalam Negeri Kemendag menjelaskan bahwa saat ini kementerian masih menunggu kepastian hukum atau Legal Opinion dari Kejaksaan Agung RI. Legal Opinion ini dibutuhkan untuk menjadi landasan hukum dalam pembayaran. Keputusan kejaksaan agung akan menentukan utang akan dibayar atau tidak. Kemendag berpendapat bahwa apapun keputusan kejaksaan akan didiskusikan dan dicarikan jalan terbaik baik bagi pemerintah maupun perusahaan ritel. Masalah ini diharapkan selesai dalam waktu tiga bulan agar skema kerugian yang diperkirakan tidak terjadi.
— — — — — —
Referensi
Badan Pusat Statistik Indonesia
Hamid, E. S. (1999). Peran dan intervensi pemerintah dalam perekonomian. Economic Journal of Emerging Markets, 41–58.
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 3 Tahun 2022
Prasetyadi, Kristian Oka. (2023). Utang Pengadaan Minyak Goreng Perburuk Iklim Usaha. https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2023/04/23/aprindo-utang-pengadaan-minyak-goreng-perburuk-iklim-usaha