Perangkap Candu Media Sosial dalam Ilusi Ekonomika Perilaku

DESC FEB UNDIP
10 min readAug 27, 2021

--

“There are only two industries that call their customers ‘users’: illegal drugs and software.” – Edward Tufte, Statistician and Professor emeritus of Political Science, Statistics, and Computer Science at Yale University

Pesulap tahu mana bagian dari pikiran penontonnya yang tidak sadar akan ilusi yang mereka ciptakan. Demikian juga dengan apa yang teknisi media sosial lakukan demi meraup keuntungan. Film dokumenter Netflix “The Social Dilemma” telah mengungkap sisi kelam media sosial tersebut. Sungguh banyak efek yang ditimbulkannya, dimulai dari screen time berlebih, keterikatan dengan ponsel, melonjaknya kasus bunuh diri remaja, kerusuhan, hingga polarisasi politik. Tulisan ini bertujuan untuk mengungkap perangkap candu mereka melalui sudut pandang ekonomika perilaku serta pelajaran yang dapat kita petik.

Sama seperti media sosial, sepeda mengambil banyak waktu, mengurangi waktu berkumpul dengan keluarga, membawa pesepeda berkelana seorang diri. Akan tetapi, berbeda dengan media sosial, pesepeda dapat dengan mudah menaruh sepedanya dan tidak menjadi terikat. Tentu saja, sepeda hanyalah alat, sedangkan media sosial tidak. Sebuah alat tidak meminta apa-apa dari penggunanya. Sedangkan, media sosial lebih dari sekadar alat untuk bersosial: mereka memiliki tujuannya sendiri.

Tristan Harris, eks-Design Ethicist di Google, menyampaikan tiga fokus tujuan para perusahaan teknologi. Pertama, untuk meningkatkan penggunaan seseorang, menjaga orang tersebut tetap scrolling. Tujuan kedua adalah untuk membawa penggunanya terus kembali menggunakan aplikasi. Dengan demikian, ia mengundang banyak teman-temannya, serta mereka akan mengundang lebih banyak teman. Ketiga, yaitu tujuan pengiklanan untuk memastikan bahwa saat semua itu terjadi, mereka membuat sebanyak mungkin keuntungan dari iklan. Setiap tujuan didukung oleh algoritma yang sangat cerdas. Algoritma tersebut bertugas untuk memilih apa yang tepat untuk ditunjukkan kepada seorang pengguna, untuk meningkatkan angka-angka tersebut.

Dengan semua yang ada pada media sosial, platform tersebut memiliki banyak pengguna dengan sangat banyak data. Data adalah bahan baku dari prediksi segmentasi pasar yang sangat baik. Prediksi tersebut adalah garansi bahwa jika sebuah bisnis meletakkan iklan melalui mereka, iklan tersebut akan berhasil. Itulah tempat pengiklanan yang diinginkan setiap pemilik bisnis.

Itulah yang dijual oleh media sosial. Itulah mengapa teknisi media sosial bertujuan untuk membuat penggunanya tetap berlama-lama menggunakan platform mereka. Setiap hal yang penggunanya lakukan akan dicatat, diawasi, dan dimonitor, kemudian dijual kepada pengiklan. Itulah bisnis mereka, seberapa besar hidup pengguna yang bisa mereka ambil untuk sistem bisnis mereka?

Gambar 1: Sumber McKincey & Company

Pada tahun 2019 dan 2020, pengguna internet di dunia rata-rata menghabiskan 2 jam 41 menit setiap harinya untuk berselancar di media sosial. Gen Z rata-rata menghabiskan 4,5 jam, sedangkan Millenial menghabiskan rata-rata 3,8 jam per hari. Angkatan sekarang ini diperkirakan rata-rata akan menghabiskan total 6 tahun dan 8 bulan masa hidupnya pada media sosial. Sangat tingginya waktu penggunaan media sosial tersebut akan terus meningkat seiring dengan semakin populernya media sosial di kalangan anak muda.

Kepopuleran media sosial akan terjadi semakin cepat, seiring dengan eksponensialnya perubahan zaman. Semuanya serba instan. Fitur berbagi foto, video, atau informasi, serta saling melihat dan berekspresi telah menjadi makanan sehari-hari. Dengan mudah penggunanya dapat jatuh ke dalam ‘rabbit-hole’ dan berselancar di dalamnya selama berjam-jam. Hal itu merupakan salah satu keputusan yang tidak rasional dalam menggunakan media sosial.

Manusia diasumsikan sebagai makhluk yang rasional dalam membuat keputusan. Pada awal perkembangan ekonomika perilaku, manusia dianggap sebagai Homo economicus, ‘economic man’. Mereka konsisten untuk mencari pilihan yang optimal, memaksimalkan keuntungan, dan memiliki preferensi yang stabil. Model dunia yang sempurna ini disebut sebagai teori pilihan yang rasional.

Kemudian, teori pilihan yang rasional tersebut dipertanyakan oleh pemenang nobel Daniel Kahneman, yang bersama dengan koleganya, Amos Tversky, memperkenalkan teori prospek. Teori ini menunjukkan kesalahan-kesalahan kritis pada teori pilihan yang rasional. Ternyata, keputusan manusia seringkali berdasarkan konteks irasional tertentu dan keliru secara sistematis.

Pada buku Kahneman dan Tversky “Thinking, Fast and Slow”, mereka mendetailkan bagaimana otak manusia secara konstan masuk ke dalam dua sistem neurologi untuk membuat keputusan, kita sebut Sistem 1 dan Sistem 2. Sistem 1 berkerja dengan instan dalam mengingat bagaimana manusia membuat keputusan yang mirip dengan keadaan di masa lalu. Sistem ini memberikan rekomendasi cepat untuk membuat pilihan sesegera mungkin. Di sisi lain, Sistem 2 berjalan dengan analitis, bijak, dan lebih pelan; itu adalah ‘otak rasional’ kita.

Lantas, mengapa manusia sering sekali membuat keputusan-keputusan yang irasional? Jawaban singkatnya adalah karena Sistem 1 seringkali malas untuk menunggu gerak lambat Sistem 2 dan cenderung mengambil jalan pintas. Ekonom perilaku lainnya, seperti Dan Ariely, menyatakan bahwa pilihan manusia terlampau sering dipengaruhi oleh bias kognitif, emosi, dan pengaruh sosial. Kelemahan tersebut merupakan bagian yang tidak disadari oleh pengguna media sosial, tetapi dipergunakan sebaik mungkin oleh teknisi platform media sosial, sebagai berikut:

Menunda-nunda adiksi, dan kasino Vegas: Hyperbolic discounting dan Negative Internalities

Jika manusia ditawarkan untuk mendapat Rp500.000 sekarang juga atau Rp550.000 dua hari lagi, mayoritas manusia akan cenderung memilih reward yang paling cepat diterima. Itu adalah karena mereka cenderung ‘mendiskon’ nilai dari reward yang dapat diterima di kemudian hari. Mereka menjadi berlebihan\hiperbola dalam menilai penundaan waktu pemberian tersebut. Itulah yang disebut dengan hyperbolic discounting; model perilaku ekonomi yang mengungkapkan ketidakrasionalan preferensi manusia terhadap sesuatu yang dapat dinikmati secepatnya. Observasi Hyperbolic discounting terkini digunakan untuk studi seputar tabungan untuk pensiun, peminjaman kredit, adiksi, hingga prokrastinasi (menunda-nunda).

Media sosial merupakan tempat yang sempurna untuk menunda-nunda. Di sini, banyak sekali insentif-insentif kecil dengan rentang waktu perhatian yang singkat dan menstimulasi otak kita. Semua yang ingin kita lihat dapat kita temukan di dalam genggaman. Dengan demikian, kita cenderung akan menunda pekerjaan yang kurang menyenangkan dan lari menuju insentif cepat dari platform ini.

Selain itu, platform ini seringkali menjadi pelarian kita dalam waktu luang ketika belum dapat mengerjakan hal lain, atau yang disebut ‘dead time’. Hal tersebut rentan sekali terpola menjadi kebiasaan. Ketika keadaan yang serupa terjadi, kita akan kembali mencari insentif tersebut lagi dan lagi, dengan jumlah yang lebih banyak dan ritme yang makin cepat.

Pengelola media sosial mengakui bahwa mereka menggunakan hal ini agar penggunanya teradiksi. Salah satunya adalah fitur ‘refresh’ umpan yang disediakan. Seharusnya, internet tidak memerlukan waktu sekian detik untuk melakukan hal tersebut. Akan tetapi, pengelola sengaja memberikan efek ‘menarik mesin slot’ dan menunggu putaran loading beberapa detik: beroperasi layaknya kasino di Las Vegas. Mereka menumbuhkan adiksi. Penggunanya tidak tahu kapan mereka akan mendapatkan yang mereka inginkan, tetapi mereka tahu bahwa itu ada di sana, dan mereka perlu menarik atau menggunakannya sekarang. Ketika pengguna melihat kasino (dan logo aplikasi media sosial), pengguna tersebut tahu bahwa ada sesuatu yang barang tersebut miliki untuknya. Jadi, pengguna itu memainkan ‘slot machine’ tersebut dan melihat apa yang mereka dapatkan.

“It is not enough to use the program consciously. We want to dig down deeper into the brain stem and implant inside of you an unconscious habit, so that you are being programmed on a deeper level. You don’t even realize it.” — Tristan Harris, eks-Design Ethicist di Google

Terdapat contoh serupa lain seputar adiksi ini, seperti menunggu menandai (tag) teman satu sama lain, menunggu tulisan sedang mengetik (typing…), dan lainnya. Kenyataan ini juga diperkuat dengan model ‘adiksi rasional’ yang ditemukan ekonom dari mengidentifikasi negative internalities pada pengguna.

Negative internalities menunjukkan kesadaran pengguna produk bahwa konsumsi berlebihan sekarang akan berakibat negatif pada kesejahteraan di masa yang akan datang. Negative internalities itu dapat terjadi pada kesehatan, karir, dan masalah personal lain akibat konsumsi berlebih ini.Hal tersebut membuat pengguna memberikan toleransi, bahwa di masa depan, kesenangan untuk mengonsumsi produk tersebut akan perlahan berkurang. Dengan demikian, lebih baik kita menggunakannya sekarang, selagi kita dibuat senang olehnya

Adanya kecenderungan teradiksi itu memperkuat efek hal lainnya, yaitu Loss Aversion Bias — Fear of Missing Out.

Fear of Missing Out: Loss Aversion Bias

Platform foto, video, dan kabar mendorong kita dengan pilihan “di mana kita pernah berada?” seperti foto liburan, gambar-gambar makanan, hingga acara-acara asyik yang sedang terjadi. Umpan konstan seputar apa yang orang lain lakukan, dan apa yang dapat dengan mudah kita imajinasikan untuk lakukan, mengaktivasi dan memperkuat sense penyesalan dan mengembangkan ketakutan kita untuk menjadi tertinggal.

Gambar 2

Efek dari model media sosial tersebut diperkuat dengan preferensi ekonomika perilaku bahwa kehilangan terasa jauh lebih menyedihkan dibanding mendapatkan. Itulah yang disebut loss aversion bias. Kehilangan makanan dalam satu hari akan menimbulkan kelaparan seperti sebuah kehilangan yang menyedihkan, tidak sebanding dengan mendapat makanan tambahan untuk satu hari, yang tidak terasa seperti mendapat satu hari baru dalam hidup. Sesal akibat kehilangan uang Rp50.000 tidak sebanding dengan kesenangan mendapat uang dengan jumlah yang sama. Manusia cenderung tidak menyukai kehilangan daripada menerima pendapatan. Manusia cenderung tidak menyukai kehilangan dan ketinggalan akan apa yang terjadi di media sosial, dengan demikian mereka terdorong untuk mengeceknya terus-menerus.

“Social software is both the creator and the cure of FOMO (Fear of Missing Out)” — Caterina Fake, Flickr Co-founder

Ditambah lagi, ekonomika perilaku mengungkapkan bahwa keputusan kita seringkali diakibatkan oleh apa yang orang-orang di sekitar kita lakukan. Ketika semua teman, saling mengupload dan menandai (tag) satu sama lain, seseorang akan terdorong untuk melakukan hal yang sama. Lingkungan pertumbuhan seseorang akan memengaruhi keputusan yang mereka ambil, seperti halnya poin berikut.

Ekstrimis dan Polarisasi: Fast and Frugal, Bounded Rationality, dan Information Avoidance

Apa yang orang temukan rasional bergantung pada struktur lingkungan seseorang. Pikiran kita akan lebih nyaman dan terbatas di mana lingkungan tempat kita bertumbuh. Manusia itu ‘rasional di dalam lingkungannya’ ketika mereka mencoba membuat keputusan terbaik. Fast and frugal, manusia cenderung memilih informasi yang cepat (fast) tanpa sempat memikirkan rasionalitas lain di luar lingkungannya.

Efek tersebut terjadi pada media sosial. Algoritma yang ada itu bekerja bagi pengguna untuk menemukan apa yang sesuai dengan mood dan prediksi kesukaan pengguna pada waktu terkini. Ia tidak peduli apakah sebuah informasi itu benar atau salah, yang terpenting, jika penggunanya menyukainya, algoritma akan menunjukkan informasi berkaitan dengan hal tersebut terus-menerus. Itulah mengapa hoax dan kepercayaan ekstrimis dapat terjadi, dan pengguna media sosial mengira bahwa merekalah kebenaran, meskipun irasional: penyebab kasus Rohingya, flat-earther, pizzagate, dan masih banyak lagi.

Gambar 3

Polarisasi pemerintah yang terjadi Amerika Serikat adalah salah satu contohnya. Dengan adanya algoritma media sosial tersebut, masyarakat semakin masuk ke dalam ruang gema. Mereka hanya mendengar apa yang ingin mereka dengarkan. Dunia yang mereka lihat, yang ada pada genggaman mereka, membuat mereka tertutup akan sisi lain. Hal ini berpotensi besar menimbulkan perpecahan dan kerusuhan. Hal tersebut semakin diperkuat dengan ditemukannya kecenderungan untuk melakukan information avoidance.

Information avoidance dalam ekonomika perilaku mengungkapkan situasi di mana manusia memilih untuk tidak mendapatkan informasi yang tersedia: manusia justru menghindarinya. Penghindaran informasi ini termasuk penghindaran fisik, ketidakperhatian, dan bias interpretasi sebuah informasi. Dalam finansial perilaku, riset membuktikan bahwa investor akan cenderung tidak mengecek portofolio online ketika pasar saham sedang turun daripada sedang naik. Kasus serius penghindaran ini terjadi ketika manusia tidak kembali ke rumah sakit untuk menerima hasil tes medis mereka. Penghindaran ini juga berkontribusi pada polarisasi opini politik dan bias media.

Keputusan manusia tidak selalu optimal, tetapi terbatas pada apa yang terjadi di lingkungan kita. Manusia menghadapi batasan informasi sejak mereka bertumbuh pada lingkungan tertentu. Batasan tersebut dapat berupa kapasitas berpikir, waktu dan informasi yang tersedia. Itulah yang disebut dengan bounded rationality. Bounded rationality mengungkapkan bahwa manusia adalah aktor ‘rasional’ dengan terbatasnya kemampuan untuk memproses informasi.

Pelajaran yang dapat kita petik

Tentunya, semua perusahaan ingin mendapatkan keuntungan, baik itu bisnis yang mengiklankan maupun penyedia platform bermodel bisnis menjual penonton iklan. Pengelola dan teknisi platform online tersebut semakin cerdik dalam menciptakan media yang nyaman untuk digunakan.

Mereka menggunakan beberapa aspek pikiran yang tidak kita sadari, yang terkadang berpotensi menimbulkan berbagai akibat jangka panjang. Terdapat hyperbolic discounting dan negative internalities yang mengarah pada prokrastinasi dan adiksi. Ada loss aversion bias dan kenyataan model media sosial yang menimbulkan fear of missing out. Terdapat pula fast and frugal, bounded rationality, dan information avoidance sebagai alasan terjadinya ekstrimisme dan polarisasi politik melalui media sosial.

Jika pengelola dan teknisi platform media sosial dapat menggunakan ilusi ekonomika perilaku untuk mencapai tujuan mereka, semua orang dapat menggunakan trik yang sama. Kita bisa menggunakan sisi lain dari ekonomika perilaku untuk mencapai apa yang kita inginkan, misalnya untuk tidak menjadi kecanduan bermedia sosial. Perangkap candu tersebut memang ada dan diakui penciptanya, tetapi kita memiliki pilihan untuk tidak menjadi terperangkap.

Salah satu kritik dari hyperbolic discounting adalah berlakunya hal tersebut mayoritas adalah mahasiswa yang terlalu cepat untuk menyimpulkan. Andaikata manusia mengubah sistem pikiran mereka dari Sistem 2 menjadi Sistem 1, dari respon otomatis menjadi pemikiran yang kritis, kecenderungan-kecenderungan lemah manusia bisa dipatahkan. Jika untuk keluar dari preferensi yang irasional membutuhkan latihan, langkah selanjutnya adalah melakukan latihan tersebut.

Sejatinya, ponsel dan perangkat digital berada pada genggaman kita sendiri. Mematikan notifikasi atau membuat zona dan waktu bebas perangkat digital? Memikirkan ulang manfaat setiap media sosial yang digunakan atau menjadi content creator yang menunggangi algoritma? Menggunakan media sosial sebagai alat atau diperalat? Semuanya bergantung pada keputusan rasional kita.*

Written by Angelyn Grace Arihta Berutu

Reviewed by Albert Ludi Angkawibawa and Maulani Ariviyanti

Edited by Namira Dira Ramadhanti

— -

Referensi

Grüne-Yanoff, Till. “Models of Temporal Discounting 1937–2000: An Interdisciplinary Exchange between Economics and Psychology”. Science in Context 28, no. 4 (2015): 675–713.

Goldstein, D. G., & Gigerenzer, G. Models of ecological rationality: the recognition heuristic. Psychological Review 109, no. 1 (2002): 75–90.

Kable, Joseph W. and Glimcher, Paul W. “The neural correlates of subjective value during intertemporal choice”. Nature Neuroscience 10, no. 12 (2007): 1625–1633.

Kahneman, D. & Tversky, A. “Prospect Theory: An Analysis of Decision under Risk”. Econometrica 47, no. 4 (1979): 263–291.

O’Donoghue, T.; Rabin, M. “Doing it now or later”. The American Economic Review, no. 89 (1999): 103–124.

O’Donoghue, T.; Rabin, M. “The economics of immediate gratification”. Journal of Behavioral Decision Making 13, no. 2 (2000): 233–250.

Gilovich, T., Griffin, D., and Kahneman, D. (Eds.). Heuristics and biases: The psychology of intuitive judgment. Cambridge, UK: Cambridge University Press, 2002.

Simon, H. A. Models of bounded rationality. Cambridge, MA: MIT Press, 1982.

Lee, Jonathan (2015). “Dan Ariely on How ‘Fear of Missing Out’ Works”. Duke Today. Available at https://today.duke.edu/2015/04/dan-ariely-how-%E2%80%98fear-missing-out%E2%80%99-works

Wortham, Jenna. (2011). How Social Media Can Induce Feelings of ‘Missing Out’. The New York Times. Available at https://www.nytimes.com/2011/04/10/business/10ping.html?_r=0

Dragan, Mihai M. (2012). Behavioral Economics and Social Media. Netonomy. Available at https://netonomy.net/2012/08/14/behavioral-economics-social-media/

Chiu, Cindy, Davis Lin, and Ari Silverman. (2012). China’s social-media boom. McKinsey & Company. Available at https://www.mckinsey.com/business-functions/marketing-and-sales/our-insights/chinas-social-media-boom

Broadband Search (2020). Average time spent daily on social media. Broadband Search. Available at https://www.broadbandsearch.net/blog/average-daily-time-on-social-media.

Instagram (n.d.) (2021). Get your business started on Instagram. Instagram. Available at https://business.instagram.com/getting-started?ref=igb_carousel

Kemp (2021). Digital 2021: Global digital overview. Statista. Available at https://www.statista.com/statistics/433871/daily-social-media-usage-worldwide/

--

--

DESC FEB UNDIP
DESC FEB UNDIP

Written by DESC FEB UNDIP

Diponegoro Economic Student Community (DESC) FEB UNDIP is an autonomous organization of Economics Department.

No responses yet