MENCAPAI PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MELALUI PENERAPAN GOOD GOVERNANCE DI INDONESIA
A. PENDAHULUAN
Kesejahteraan masyarakat menjadi salah satu tujuan pembangunan ekonomi yang ingin dicapai oleh Indonesia. Hal itu tertulis pada alinea keempat pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa salah satu tujuan negara Indonesia adalah memajukan kesejahteraan umum. Untuk memahami kesejahteraan, konsep pertumbuhan ekonomi tidak cukup untuk menjelaskan kondisi ataupun perkembangan kesejahteraan suatu negara. Oleh karena itu, dibutuhkan pemahaman konsep pembangunan ekonomi yang memiliki pendekatan terhadap keadaan masyarakat dalam cangkupan yang lebih luas.
Dalam menjelaskan permasalahan kesejahteraan, kita dapat melihat kondisi tingkat kemiskinan di Indonesia menurut data World Bank, dimana tingkat kemiskinan menurun pada tahun 2022. Pada bulan Maret 2022, kemiskinan nasional turun menjadi 9,5%, turun sebesar 0,6% dibandingkan dengan bulan Maret 2021. Tetapi, tingkat kemiskinan di Indonesia masih tergolong tinggi jika dilihat dari kemiskinan internasional yang menyentuh angka 2.5%.
Padahal skema bantuan sosial unggulan Program Keluarga Harapan (PKH) mencapai 97,2 persen, bantuan tunai untuk kebutuhan dasar telah berhasil didistribusikan kepada 98 persen penerima manfaat pada kuartal pertama tahun 2022. Namun, penargetan masih mengalami kesalahan inklusi dan eksklusi yang tinggi. Meskipun bantuan sosial meningkat, ketimpangan tetap mengalami stagnasi, dengan indeks Gini tetap berada di angka 37,9 sejak Maret 2021.
Tentu hal tersebut membuat kesejahteraan memiliki kaitannya dengan masalah tata kelola pemerintahan. Dimana terdapat banyak program pemerintah yang memiliki tujuan baik dalam meningkatkan kesejahteraan, tetapi output dari program tersebut masih tidak efektif. Dengan demikian, peran pemerintah harus didukung dengan kualitas institusi, kualitas yang buruk akan menghambat peningkatan kesejahteraan karena akan berpengaruh terhadap kesejahteraan itu sendiri. Maka dari itu, perlunya tata kelola pemerintah yang baik merupakan prasyarat dalam meningkatkan kesejahteraan. Maka dari itu, pemerintah harus memiliki tata kelola yang baik demi mencapai tingkat kesejahteraan yang diukur menggunakan Indeks Pembangunan Manusia dan Koefisien Gini.
Pada kajian ini, kami memiliki beberapa pokok bahasan untuk menjelaskan kondisi kesejahteraan dan governance. Dalam menjelaskan kesejahteraan, kami menggunakan indikator IHDI (Inequality-Adjusted Human Development Index) dan Gini Index untuk melakukan komparasi kondisi Indonesia dengan negara di Asia Tenggara lainnya. Selanjutnya, pembahasan akan mengarah pada pengenalan konsep good governance untuk mencapai kesejahteraan di suatu negara. Hal itu dilanjutkan dengan penerapan Worldwide Governance Indicator (WGI) untuk membandingkan kondisi Indonesia dengan negara lain. Untuk melihat tata kelola pemerintah yang baik terdapat enam indikator yang digunakan, antara lain Voice and Accountability (VA), Political Stability and Absence of Violence or Terrorism (PV), Government Effectiveness (GE), Regulator Quality (RQ), Rule of Law (RL), dan Control of Corruption (CC). Melalui penjabaran fakta tersebut, kajian ini diharapkan dapat mendorong adanya diskusi yang lebih lanjut dalam upaya Indonesia meningkatkan kualitas tata kelola pemerintahan guna mencapai tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi.
B. URAIAN
- Kesejahteraan Dalam Sudut Pandang “Capability Approach”
Amartya Sen berpendapat bahwa “kemampuan seseorang untuk berfungsi” adalah cara untuk meninjau seseorang tergolong miskin atau tidak. Capability atau kemampuan yang dimaksud adalan tindakan dan keberadaan yang dapat dicapai seseorang jika mereka menginginkannya. Hal ini meliputi kesempatan mereka untuk melakukan atau menjadi hal-hal seperti mendapatkan kesehatan yang memadai, mendapatkan akses pendidikan, dan mampu memenuhi standar hidup yang layak. Functionings atau berfungsi yang dimaksud adalah capabilities yang telah direalisasikan. Hal ini adalah apa yang masyarakat lakukan atau bisa lakukan pada komoditas dengan karakteristik tertentu yang mereka miliki atau kontrol. Maka dari itu, Sen berpendapat bahwa kemiskinan tidak dapat diukur dengan baik melalui pendapatan atau bahkan berdasarkan kegunaan sebagaimana dipahami secara konvensional; yang penting secara mendasar adalah bukan hal-hal yang dimiliki seseorang, melainkan apa yang bisa dimanfaatkan dari komoditas tersebut. Pemahaman ini menekankan pada akses fasilitas yang lebih merata untuk seluruh elemen masyarakat.
Sen berargumen bahwa pertumbuhan ekonomi tidak dapat diperlakukan secara bijaksana sebagai tujuan itu sendiri. Melainkan pembangunan yang harus menjadi perhatian dan dilakukan dengan peningkatan kehidupan serta kebebasan yang kita jalani. Menurut Hassan dan Zeb (2001), pembangunan ekonomi yang konsisten dan progresif adalah kunci untuk mencapai pertumbuhan masyarakat yang inklusif dengan kesejahteraan yang berorientasi pada tujuan masyarakat, mengatasi kesenjangan sosial-ekonomi, dan pengentasan kemiskinan pada negara berkembang. Melalui perspektif tersebut, pembangunan ekonomi sekarang mengarah pada penekanan dalam kesehatan, pendidikan, dan inklusi sosial, tidak hanya berfokus pada peningkatan pendapatan. Hal itu dikarenakan untuk mencapai kesejahteraan dibutuhkan pemenuhan kebutuhan dasar yang dapat membantu masyarakat mampu mencapai sesuatu atau melakukan sesuatu. Maka dari itu, untuk melihat tingkat kesejahteraan suatu negara memerlukan suatu pengukuran pembangunan yang multidimensi sehingga mendapat gambaran kondisi masyarakat secara lebih luas.
2. Indikator Kesejahteraan
2.1 Inequality-Adjusted Human Development Index (IHDI)
Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM) adalah ringkasan ukuran pencapaian rata-rata dalam dimensi-dimensi utama pembangunan manusia: umur panjang dan sehat, berpengetahuan luas, dan memiliki standar hidup yang layak. Sejak tahun 2010, United Nations Development Programme (UNDP) memperkenalkan New Human Development Index (NHDI) untuk mengkritisi beberapa yang ada pada HDI. Indeks ini masih berdasarkan standar hidup, pendidikan, dan kesehatan. Namun, terdapat beberapa hal yang dilakukan penyesuaian. Pertama, dalam menghitung indeks standar hidup layak, digunakan GNI per kapita bukan GDP per kapita. Hal ini dikarenakan GNI menggambarkan apa yang bisa dilakukan masyarakat dengan pendapatan yang diterima. Kemudian, terdapat perubahan dalam indeks pendidikan. Dua komponen baru telah ditambahkan: rata-rata pencapaian pendidikan aktual dari seluruh populasi dan pencapaian yang diharapkan dari anak-anak saat ini. Untuk mengukur hal tersebut menggunakan pengukuran rata-rata lama sekolah. Selain itu, terdapat perubahan nilai (batas atas dan bawah) dalam menentukan perhitungan indeks. Meskipun terdapat perubahan, komponen indeks dari HDI yang terbaru tetap dihitung dengan metode yang sama seperti sebelumnya.
Pengukuran HDI, seperti halnya dengan nilai rata-rata, angka ini menyembunyikan kesenjangan dalam pembangunan manusia antar populasi di negara yang sama. Dua negara dengan sebaran capaian yang berbeda dapat mempunyai rata-rata nilai HDI yang sama. Oleh karena itu, terdapat alternatif pengukuran yang dikenal dengan Inequality-Adjusted Human Development Index (IHDI). IHDI tidak hanya memperhitungkan pencapaian rata-rata suatu negara dalam bidang kesehatan, pendidikan, dan pendapatan, namun juga bagaimana pencapaian tersebut didistribusikan kepada warga negaranya dengan mengurangi nilai rata-rata setiap dimensi sesuai dengan tingkat ketimpangan.
Berdasarkan UNDP, terdapat empat kategori IHDI untuk mengklasifikasi negara terdiri dari rendah, medium, tinggi, dan sangat tinggi. Negara dapat dinyatakan memiliki HDI rendah apabila nilai tersebut kurang dari 0,550. Lalu, terdapat kategori medium dengan nilai HDI 0,550–0,699. Kemudian, untuk kategori tinggi, sebuah negara perlu memiliki HDI dengan nilai 0,700–0,799. Terakhir, nilai HDI diatas 0,800 maka termasuk dalam kategori sangat tinggi, yang pada umumnya dimiliki oleh negara-negara maju seperti Norwegia dan Amerika Serikat.
Tabel 1. Perkembangan IHDI ASEAN
Sumber: UNDP Human Development Reports (2022), diolah
Grafik 1. Perkembangan IHDI ASEAN
Sumber: UNDP Human Development Reports (2022), diolah
Berdasarkan data diatas dalam jangka waktu 2017–2021, Posisi Indonesia dengan rata-rata nilai 0,550–0,699 menunjukkan kategori IHDI tingkat medium. indikator nilai indonesia mengalami peningkatan dan penurunan yang stabil dalam tahun ke tahun. Jika dibandingkan dengan negara tetangga, Kamboja dengan rata-rata nilai < 0,550 memiliki tingkat nilai IHDI terendah di ASEAN dan termasuk dari Kategori IHDI sangat rendah. Sedangkan, Singapore dengan rata-rata nilai < 0,800 memiliki angka IHDI tertinggi di ASEAN dan termasuk dari Kategori IHDI sangat tinggi. Indonesia sebagai negara berkembang perlu terus mengupayakan pendistribusian secara merata dalam peningkatan kualitas kesehatan, pendidikan, dan pendapatan. Melalui Indikator IHDI, menjadi pekerjaan besar bagi pemerintah Indonesia untuk memperbaiki tata kelola negara demi terciptanya kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia.
2.2 Gini index
Gini index atau biasa dikenal dengan gini ratio merupakan pengukuran untuk melihat pemerataan atau ketimpangan pendapatan penduduk di suatu negara. Menurut World Bank, Indeks Gini mengukur sejauh mana distribusi pendapatan (atau, dalam beberapa kasus, pengeluaran konsumsi) di antara individu atau rumah tangga dalam suatu ekonomi menyimpang dari distribusi seimbang yang sempurna. Kurva Lorenz memplot persentase kumulatif dari total pendapatan yang diterima terhadap jumlah kumulatif penerima, dimulai dengan individu atau rumah tangga termiskin. Indeks Gini mengukur luas antara kurva Lorenz dan garis hipotetis persamaan mutlak, dinyatakan sebagai persentase dari luas maksimum di bawah garis. Maka dari itu, indeks Gini 0 menunjukkan pemerataan sempurna, sedangkan indeks 100 menunjukkan ketidaksetaraan sempurna.
Fenomena kesenjangan yang terjadi secara global menunjukkan bahwa tingginya tingkat ketimpangan pendapatan dan kekayaan dapat memberikan dampak negatif secara luas, yang mana banyak di antaranya ditemukan di kawasan benua Asia. Ketimpangan dapat mempengaruhi individu, dalam hal kesehatan dan kesejahteraan mereka, namun hal ini juga dapat merugikan negara pada tingkat makro, termasuk dengan melemahkan kohesi sosial dan pertumbuhan ekonomi nasional. Secara simultan, dampak negatif ini memberikan alasan yang kuat bagi negara-negara untuk mengambil tindakan tegas untuk mengatasi kesenjangan dan menguranginya ke tingkat yang mampu memberikan hasil yang jauh lebih positif. Bukanlah suatu kebetulan bahwa banyak dari mereka negara-negara yang menduduki peringkat teratas dalam indeks kebahagiaan global adalah beberapa negara yang lebih setara di dunia.
Menggunakan indeks kesejahteraan anak dari UNICEF, Pickett dan Wilkinson (2009) telah menunjukkan bahwa dalam kasus negara-negara kaya, kesejahteraan anak yang lebih rendah berkorelasi kuat dengan kesenjangan, namun sama sekali tidak berhubungan dengan rata-rata pendapatan di masing-masing negara. Mereka juga menunjukkan bahwa ketimpangan yang lebih tinggi dikaitkan dengan tingkat kematian bayi dan stunting serta berat badan bayi lahir rendah. Van Deurzen dkk (2014) menemukan bahwa ketimpangan kekayaan rumah tangga yang lebih tinggi dikaitkan dengan peningkatan angka kematian anak dan tingkat anemia pada anak-anak. Ketimpangan juga dikaitkan dengan tingginya angka kehamilan di kalangan remaja wanita.
Masyarakat yang hidup di negara dengan kesenjangan yang tinggi akan lebih memiliki kecenderungan mengalami kualitas kesehatan yang buruk, nutrisi yang kurang memadai, dan angka harapan hidup yang lebih rendah. Pei dan Rodriguez (2006) menemukan bahwa risiko dari kesehatan yang buruk meningkat 10 hingga 15 persen diantara masyarakat yang hidup di provinsi yang memiliki kesenjangan pendapatan lebih besar. Picket et al (2005) menunjukkan bahwa ketimpangan pendapatan diasosiasikan dengan tingkat kematian obesitas dan diabetes yang lebih tinggi di negara dengan pendapatan tinggi.
Grafik 2. Gini Index ASEAN
Sumber: World Bank (2022), diolah
Grafik diatas menunjukkan nilai Gini Index di berbagai negara di kawasan ASEAN pada tahun 2018–2021. Namun, terdapat beberapa data yang tidak tersedia pada database world bank, seperti negara Vietnam, Filipina, dan Malaysia. Meskipun demikian, perbedaan nilai Gini Index yang ditampilkan mampu memberikan informasi bahwa Indonesia menunjukkan perkembangan dalam mengatasi ketimpangan. Nilai tersebut memberi sinyal bahwa Indonesia masih memiliki permasalahan ketimpangan, yang mana berarti pendapatan belum begitu merata untuk seluruh masyarakat. Hal itu menandakan bahwa pertumbuhan ekonomi semestinya diikuti dengan adanya pemerataan, sehingga pendapatan tidak terkonsentrasi pada sejumlah elemen masyarakat dan tidak terdistribusi secara merata. Secara perbandingan, Indonesia memiliki nilai yang relatif berada di peringkat menengah dibandingkan negara lain. Dari data tersebut juga dapat disimpulkan bahwa Thailand dan Vietnam memiliki tingkat ketimpangan yang lebih rendah dibandingkan Indonesia. Hal tersebut seharusnya menjadi pengingat bagi Indonesia untuk terus berupaya untuk menurunkan ketimpangan yang ada.
3. Good Governance dan Kesejahteraan
Good governance merupakan konsep yang memandang bahwa kewenangan tidak hanya dipegang oleh pemerintah, namun juga merupakan jaringan yang seimbang dan multidimensi antara organisasi pemerintah dan organisasi non-pemerintah (Wibawa, 2005). Menurut World Bank (2020), governance atau yang dikenal dengan tata kelola adalah sebuah proses melalui bagaimana keputusan institusional dibuat dan dilaksanakan di suatu negara. Lebih lanjut bahwa tata kelola harus didasarkan pada prinsip-prinsip inklusif dan akuntabilitas. Khan (2015) melihat bahwa upaya yang dilakukan negara-negara berkembang untuk meniru praktik good governance yang dilakukan negara-negara maju seringkali gagal. Penulis berpendapat bahwa negara berkembang hanya mampu melakukan praktik yang baik sesuai dengan keterbatasan sumber daya dan kemampuan yang ada di negara tersebut.
Sejumlah penelitian tentang subjek tersebut telah menunjukkan bahwa praktik tata kelola yang baik telah memberikan kontribusi yang signifikan dalam mencapai pertumbuhan perekonomian dan pembangunan sosial di berbagai negara. Huther dan Shah (2005) menggambarkan tata pemerintahan yang baik sebagai sebuah konsep multidimensi yang mencakup seluruh aspek kewenangan yang dilaksanakan melalui lembaga formal dan informal dalam mengelola kekayaan sumber daya suatu negara. Oleh karena itu, kualitas tata kelola diukur dengan pengaruhnya terhadap kualitas kehidupan yang dinikmati oleh warga negaranya dan kekuasaan yang dijalankan oleh mereka. Fukuyama (2013) mengakui korelasi antara berbagai aspek tata kelola dan pembangunan, penulis berargumentasi bahwa pertumbuhan ekonomi mungkin tidak hanya didukung oleh suatu hal negara yang kuat dengan “pemerintahan yang memadai” yang dapat menjadi pondasi untuk pembangunan sosial-politik yang lebih mempercepat peningkatan. Ndulu dan O’Connell (1999) menyatakan bahwa kondisi politik utama bagi pembangunan ekonomi adalah pemerintahan yang memiliki good governance. Hope (2009) berpendapat bahwa, perekonomian yang baik dipengaruhi oleh tata kelola ekonomi yang baik, tata kelola ekonomi yang baik merupakan eksistensi lembaga-lembaga pemerintah dalam mengelola sumber daya secara efisien.
4. Worldwide Governance Indicator (WGI)
Good governance memiliki peranan yang sangat penting bagi pembangunan. Hal ini membantu negara-negara meningkatkan pertumbuhan ekonomi, membangun sumber daya manusia, dan mempererat kohesi sosial. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu indikator yang dapat menilai tata kelola suatu negara. Worldwide Governance Indicators (WGI) dirancang untuk membantu peneliti dan analis menilai pola luas persepsi tata kelola di berbagai negara dan dari waktu ke waktu. Keenam ukuran gabungan WGI berguna sebagai alat pertama untuk melakukan perbandingan luas antar negara dan untuk mengevaluasi tren umum dari waktu ke waktu. Akan tetapi, hal-hal tersebut sering kali merupakan alat yang terlalu tumpul untuk dapat digunakan dalam merumuskan reformasi tata kelola yang spesifik dalam konteks negara tertentu. Maka dari itu, penggunaan data ini adalah untuk mengidentifikasi kondisi tata kelola Indonesia dibandingkan dengan negara di Asia Tenggara lain. Untuk menentukan transformasi institusi, diperlukan diagnosa yang lebih rinci dan spesifik sehingga dapat menentukan kendala dan langkah untuk mengatasinya. Oleh karena itu, WGI adalah sebagai pelengkap dari sejumlah besar upaya lain untuk menyusun langkah-langkah tata kelola yang lebih detail.
Worldwide Governance Indicators (WGI), memiliki enam indikator untuk menggambarkan kualitas kelembagaan. Indeks ini dievaluasi pada skala dari -2,5 hingga +2,5. Apabila nilai suatu indikator mendekati 2,5 maka indikator kualitas institusi dianggap baik, sebaliknya jika mendekati -2,5 maka indikator tersebut semakin buruk. Dalam artikelnya, Kaufman et al. (2011) menjelaskan indikator kualitas institusi dari definisi di atas, sehingga menghasilkan enam tata kelola institusi yang dapat dikaitkan dengan keadaan di Indonesia dan 5 negara ASEAN yang terdiri dari Malaysia, Philippines, Thailand, dan Vietnam.
4.1 Voice and Accountability (VA)
Voice and Accountability (VA) menjelaskan sejauh mana warga negara dapat berpartisipasi dalam pemilihan pemerintah, serta kebebasan berekspresi, kebebasan berserikat, dan kebebasan media. Dalam konteks Indonesia, hal ini diterapkan pada Undang-Undang №40 Tahun 1999 Pasal 28 yang menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Pers, yang terdiri dari media cetak, media elektronik dan media lainnya, merupakan salah satu sarana untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan tersebut.
Grafik 3. Voice and Accountability 6 Negara ASEAN
Sumber: Worldwide Governance Indicators (2023), diolah.
Berdasarkan grafik di atas, Indonesia tergolong memiliki VA yang tinggi dibandingkan dengan lima negara lainnya. Dapat dilihat dari grafik di atas, Indonesia memiliki nilai positif di lima tahun terakhir, hal ini mencerminkan persepsi tentang seberapa efektif warga Indonesia berkontribusi dalam memilih pemerintah melalui cara-cara yang bebas, jujur dan adil, serta kebebasan berekspresi di media. Ini juga tercermin dalam melaksanakan pemilihan umum yang bersifat langsung, umum, bebas, dan rahasia.
4.2 Political Stability and Absence of Violence or Terrorism (PV)
PV merupakan indikator yang menjelaskan kemungkinan terjadinya destabilisasi politik melalui cara-cara yang tidak konstitusional atau menggunakan kekerasan, termasuk kekerasan yang bermotif politik dan terorisme. Perubahan kelembagaan yang sering terjadi akibat ketidakstabilan politik akan menimbulkan ketidakpastian dalam pengambilan keputusan ekonomi seperti investasi, produksi, dan pasokan tenaga kerja. Acemoglu et al. (2005) berpendapat bahwa institusi ekonomi yang akan digunakan di suatu negara adalah institusi yang dibentuk oleh kelompok dengan kekuatan politik. Maka dari itu, ketika bergantinya sistem pemerintahan, kebijakan ekonomi atau institusi akan berubah.
Grafik 4. Political Stability and Absence of Violence/Terrorism 6 Negara ASEAN
Sumber: Worldwide Governance Indicators (2023), diolah
Berdasarkan grafik di atas, Indonesia masih memiliki nilai negatif di lima tahun terakhir. Berbeda dengan Singapura yang memiliki nilai positif yang tinggi. Hal ini menunjukkan tingkat persepsi terhadap stabilitas pemerintah di Indonesia rendah dibandingkan Singapura. Indonesia memang mengalami polarisasi yang mendalam dan kebangkitan politik identitas, selama beberapa tahun. Hal tersebut dipandang sebagai ancaman utama terhadap konsolidasi demokrasi di Indonesia.
4.3 Government Effectiveness (GE)
GE menjelaskan tingkat kualitas pelayanan publik, kualitas pelayanan sipil dan tingkat independensinya dari tekanan politik, kualitas perumusan dan implementasi kebijakan, dan kredibilitas tanggung jawab pemerintah terhadap kebijakan tersebut.
Grafik 5. Government Effectiveness 6 Negara ASEAN
Sumber: Worldwide Governance Indicators (2023), diolah
Berdasarkan grafik di atas, tingkat GE di Indonesia pada tahun 2022 bernilai 0,44, hal ini masih bernilai positif dan menempati urutan ketiga di antara keenam negara ASEAN lainnya. Selain itu, grafiknya yang semakin meningkat dari tahun ke tahun mencerminkan peningkatan efektivitas pemerintah walaupun masih rendah dibandingkan Singapura yang memiliki nilai 2,14. Hal ini menunjukkan persepsi mengenai kondisi pelayanan publik dan pengaruh yang diberikan oleh elit politik, terhadap layanan sipil mulai dari perumusan kebijakan hingga implementasinya di lapangan yang tergolong baik.
4.4 Regulator Quality (RQ)
RQ menjelaskan bagaimana kemampuan pemerintah dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan dengan memperhatikan peraturan yang memungkinkan dan mendorong pengembangan sektor swasta.
Grafik 6. Regulator Quality 6 Negara ASEAN
Sumber: Worldwide Governance Indicators (2023), diolah
Berdasarkan grafik di atas, Indonesia memiliki tingkat kualitas regulasi sebesar 0,21 di tahun 2022, dimana hal ini cenderung meningkat di 5 tahun terakhir. Tetapi masih tergolong rendah jika dibandingkan negara Singapura yang bernilai 2,21. Praktik dalam menjalankan peraturan yang baik sangat penting untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing dalam perekonomian, sehingga memperhatikan kualitas regulasi penting untuk dilakukan.
4.5 Rule of Law (RL)
RL merupakan indikator yang berfokus dalam melihat sejauh mana agen memiliki kepercayaan dan mematuhi aturan masyarakat, khususnya terkait dengan kualitas penegakan kontrak, hak milik, dan pengadilan, serta kemungkinan terjadinya kejahatan dan kekerasan.
Grafik 7. Rule of Law Indonesia 6 negara ASEAN
Sumber: Worldwide Governance Indicators (2023), diolah
Berdasarkan grafik di atas, Indonesia memiliki tingkat Rule of Law sebesar -0,19 di tahun 2022, dimana pada 5 tahun terakhir Indonesia masih memiliki nilai negatif dan memiliki peringkat kelima dalam 6 negara ASEAN. Singapura memiliki nilai tertinggi sebesar 1,78. Di Indonesia, penerapan hukum dapat dilihat dari penerapan sistem hukum Pancasila.
4.6 Control of Corruption (CC)
CC adalah indikator yang menjelaskan dan menilai bagaimana kekuasaan publik digunakan untuk kepentingan pribadi, termasuk korupsi kecil dan besar, serta pengambilalihan negara oleh elit dan kepentingan swasta.
Grafik 8. Control of Corruption 6 Negara ASEAN
Sumber: Worldwide Governance Indicators (2023), diolah
Berdasarkan grafik di atas, Indonesia masih memiliki nilai negatif dalam kontrol korupsi dengan nilai -0,43 di tahun 2022. Sedangkan, Singapura kembali menempati peringkat tertinggi dari keenam negara ASEAN ini, dengan tingkat kontrol korupsi sebesar 2,09. Di Indonesia, fungsi kontrol pemerintah untuk upaya pemberantasan korupsi, maka dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan harapan dapat memberantas tingkat korupsi yang sudah merajalela.
5. Permasalahan Governance di Indonesia
5.1 Permasalahan Korupsi
Korupsi merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan penghambatan pertumbuhan ekonomi bangsa. Saat ini, Jika kita meninjau fenomena korupsi di Indonesia sudah amat mengakar di setiap dimensi kehidupan, tak jarang pula tindak korupsi dipersepsikan menjadi suatu hal yang lumrah. Perkembangan korupsi dari tahun ke tahun semakin pesat, menurut data Indonesia Corruption Watch (ICW), ada 579 kasus korupsi yang telah ditindak di Indonesia sepanjang tahun 2022. Jumlah ini meningkat 8,63% dibandingkan tahun sebelumnya. Maraknya Korupsi di Indonesia sudah tidak mengenal batas oleh siapa, mengapa dan bagaimana. Faktanya korupsi paling banyak terjadi di sektor desa pada 2022, yakni sebanyak 157 kasus atau sebesar 26,77% dari total kasus korupsi di seluruh Indonesia.
Meningkatnya korupsi yang tidak terkendali dapat membawa bencana bagi perekonomian di Indonesia. Tak hanya dalam ranah perekonomian, namun korupsi sudah menyentuh nilai kemanusiaan sebagai bagian dari pilar pembangunan. Dalam hal ini, pemerintah Indonesia perlu membenahi tata kelola pemerintah yang bersih guna menghapus praktik-praktik korupsi.
Grafik 9. Perbandingan IHDI dan Control of Corruption di Indonesia (2017–2021)
Sumber: WGI dan UNDP, diolah
Memang jika dilihat bahwa pertumbuhan IHDI Indonesia tidak bergerak secara signifikan dan tingkat kontrol korupsi juga mengalami penurunan. Untuk melihat perbandingan kedua indeks tersebut di antara negara lainnya, kita melihat secara multidimensional dengan mengkomparasi negara tetangga untuk menjadi perbandingannya. Dapat dilihat pada lampiran 1, Singapura memiliki kualitas kontrol korupsi dan IHDI yang tinggi dibandingkan Indonesia.
Saat ini Singapura mempunyai reputasi yang baik dalam hal tingkat integritas yang tinggi. Keberhasilan Singapura dalam menangani tindakan korupsi merupakan sebuah hasil kerangka pengendalian korupsi yang efektif dengan empat pilar utama yang mereka miliki, seperti hukum, ajudikasi, penegakan hukum dan administrasi publik, yang didukung oleh kemampuan politik dan kepemimpinan yang baik.
Maka dari itu, tindakan pemerintah dalam mengatasi korupsi memiliki peran penting dalam mensejahterakan rakyat. Pada dasarnya, pengendalian korupsi yang tinggi akan menciptakan tata kelola yang baik sehingga akan berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat.
5.2 Permasalahan Birokrasi
Birokrasi dalam suatu organisasi berfungsi untuk menata secara baik dan prosedural sehingga pelaksanaan pekerjaan dapat dioptimalkan melalui penyelesaian secara administratif. Permasalahan aktual dalam birokrasi di pemerintahan Indonesia adalah banyaknya regulasi yang tumpang tindih sehingga hal ini menyulitkan pelaksanaan birokrasi. Selain itu, pelayanan publik yang buruk, ditambah ketidaksesuaian peran birokrat dengan kapabilitasnya menjadikan birokrasi semakin memburuk.
Rasa kepuasan dari masyarakat dalam pelayanan dari pemerintahnya merupakan salah satu tolak ukur dari berjalanya birokrasi pemerintahan yang baik. Jika kita membandingkan dengan negara-negara yang memiliki birokrasi yang baik, ada beberapa hal yang dapat dijadikan rujukan dalam mencapai good governance. Diantaranya dengan the right man on the right place, yaitu adanya analisis kapabilitas jabatan dalam penempatan seseorang dalam penempatan seseorang dalam suatu jabatan.
Memasuki era reformasi, tantangan pemerintah Indonesia dalam mencapai tata kelola pemerintahan yang baik adalah mengatasi krisis kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan publik. Krisis konstruksi birokrasi pada masa Orde Baru bahkan menuai protes di tingkat pusat dan daerah (Thoha, 2012). Perilaku aparat yang cenderung tidak mendukung pelayanan publik menyebabkan aparat menggeser tujuan awal penyelenggaraan pelayanan publik ke arah pragmatisme dan menurunkan integritas dan kualitasnya (Horhoruw et al., 2012).
Untuk melihat tata kelola pemerintahan yang baik, dapat ditinjau dari ukuran perbandingan antara Gini Ratio dan Government Effectiveness. Perbandingan kedua ukuran ini dapat melihat bagaimana suatu tata kelola pemerintahan yang baik dapat berpengaruh kepada tingkat ketimpangan di suatu negara. Jika suatu negara memiliki angka Government Effectivenes yang tinggi, maka tingkat ketimpangan di suatu negara itu rendah. Sebaliknya, Jika suatu negara memiliki angka Government Effectivenes itu rendah maka tingkat ketimpangan di suatu negara itu tinggi.
Grafik 10. Perbandingan Gini Ratio dan Government Effectiveness di Indonesia (2015–2021)
Sumber: WGI dan UNDP, diolah
Jika dilihat dalam grafik di atas, pertumbuhan government effectiveness indonesia berjalan seiring dengan penurunan gini rationya. Hal ini mengindikasikan peran dari birokrasi itu sendiri. Seperti pengertiannya itu sendiri, government effectiveness merupakan tingkat kualitas pelayanan publik, kualitas pelayanan sipil dan tingkat independensinya dari tekanan politik. Maka dari itu, perlu adanya perbaikan dalam tata kelola birokrasi yang baik untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat demi terwujudnya pemerataan di seluruh daerah Indonesia, bukan hanya berfokus pada satu daerah.
C. KESIMPULAN
Kesejahteraan dan tata kelola pemerintahan (governance) memiliki hubungan yang saling terkait. Kesejahteraan itu sendiri memiliki arti yang luas dan tidak hanya berfokus pada GDP, namun juga pada hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan dasar manusia. Oleh karena itu, dalam mengukur kesejahteraan dalam melihat dari IHDI dan Gini Index untuk melihat perkembangan pembangunan manusia dan kondisi ketimpangan. Indonesia masih memiliki nilai IHDI dibawah rata-rata dunia dan dari beberapa negara ASEAN serta masih mendapati ketimpangan. Kondisi tersebut mengindikasikan perlu adanya peningkatan dan keberlanjutan usaha untuk memperbaiki keadaan kesejahteraan. Selain itu, kajian ini juga ingin menunjukkan bahwa untuk mencapai suatu kondisi masyarakat yang sejahtera, tidak hanya dapat mengandalkan pertumbuhan ekonomi semata. Hal itu dikarenakan terdapat peranan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) untuk mencapai kesejahteraan, yang mana salah satu fungsi pemerintah adalah distribusi untuk pemerataan. Berdasarkan data Worldwide Governance Indicator (WGI), Indonesia memiliki nilai yang kurang memuaskan bila dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapat beberapa masalah governance di Indonesia yang perlu terus diperbaiki seperti korupsi dan permasalahan birokrasi. Maka dari itu, untuk mendorong tercapainya cita-cita bangsa dalam mencapai kesejahteraan, peningkatan kualitas tata kelola pemerintahan Indonesia perlu dilakukan dengan perancangan yang lebih detail serta implementasi terhadap masyarakat.
D. REKOMENDASI
Berdasarkan hasil asesmen WGI di Indonesia, terdapat tiga indikator yang menjadi fokus sasaran peningkatan utama agar dapat mencapai tingkat kesejahteraan yang lebih baik, yakni: Government Effectiveness (GE), Rule of Law (RL), dan Control of Corruption (CC) Maka dari itu, terdapat rekomendasi peningkatan kualitas governance yakni sebagai berikut:
- Percepatan Transformasi Sistem Birokrasi
Dalam aspek kelembagaan, penciptaan organisasi modern dapat mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi secara efektif, efesien, trasnparan dan akuntabel. Hal ini diperlukan dengan menata ulang struktur organisasi agar terbentuk organisasi yang tepat fungsi dan unkuran
Dalam aspek ketatalaksanaan, reformasi dalam ketatalaksanaan diperlukan agar setiap pelaksanaan tugas, baik yang sifatnya teknis yuridis maupun administratif mempunyai panduang yang jelas. Reformasi ketatalaksanaan dilakukan dengan membangun sistem, prosedur kerja (SOP) yang jelas, tidak tumpang tindah dan sesuai dengan prinsip Good Governance
Dalam aspek pengelolaan sumber daya manusia (SDM), Pemerintah dapat mendorong individu dalam perubahan pola pikir, perubahan budaya kerja dan perubahan tata laku. Pola pikir sebagai penguasa yang cendrung ingin dilayani harus diubah menjadi pelayanan masyarakat, hal ini diharapkan para birokrat dapan memiliki tanggung jawab dan rasa kepemilikan dalam melaksanakan tugas, fungsi dan kewenanganya.
2. Membangun Supermasi Hukum
Prasyarat terjadinya pertumbuhan dan pembangunan ekonomi tentu dipengaruhi oleh rule of law, hal ini berkaitan dalam peningkatan pembangunan yang efektif dan sistem peradilan yang efisien (Hassan & Zeb, 2021). Pembentukan pengadilan yang cepat, pengadilan dengan peningkatan jumlah dan kapasitas Hakim dan kepolisian untuk menegakkan keadilan secara tepat waktu akan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan ekonomi melalui menarik investasi asing dan kesejahteraan masyarakat secara luas.
Dengan maraknya kriminalisasi dan korupsi yang meluas menambah kerapuhan negara dan melemahkan legitimasi/stabilitasnya dengan berkurangnya kepercayaan warga negara dan menjadikannya negara yang rapuh. Maka dari itu, penting dalam membangun supermasi hukum dalam meningkatkan indikator good governance yaitu rule of law untuk meningkatkan kesejahteraan.
3. Penerapan Strategi Pemberantasan Korupsi
Pemberantasan korupsi secara tuntas merupakan hal yang sangat sulit dilakukan, namun pengurangan jumlah kasus korupsi akan membantu suatu negara mempercepat dalam mencapai tujuan kesejahteraan. Dalam mengatasi korupsi hal yang dapat dilakukan adalah dengan adanya transparansi dan pengawasan yang lebih ketat pada segala aktivitas pemerintah yang berkaitan dengan ekonomi dan sumber daya manusia. Hal ini bertujuan agar terdapat akuntabilitas pada kinerja pemerintah dalam melakukan pengelolaan sumber daya. Langkah ini dapat dilakukan dengan penyempurnaan sistem keuangan melalui pencatatan dan pelaporan, sistem manajemen sumber daya manusia, dan pemanfaatan teknologi yang mampu mempermudah pengawasan.
Pencegahan kasus korupsi juga dapat dilakukan dengan menata ulang struktur beberapa lembaga yang berhubungan dengan pelayanan publik. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mempersingkat birokrasi tanpa mengurangi esensi yang seharusnya. Hal tersebut akan mendorong efisiensi dan kualitas pelayanan terhadap masyarakat. Tindakan ini akan berujung pada pengurangan gratifikasi dan pemungutan liar, serta menumbuhkan rasa kepercayaan publik pada institusi.
Dalam mengatasi kasus korupsi, hal yang paling signifikan dilakukan adalah dengan penegakan hukum yang tegas. Hal itu dapat berupa pada pemberian hukum yang berat sehingga memberikan efek jera dan sekaligus menjadi contoh terhadap birokrat lain maupun masyarakat. Selain itu, penegakan hukum juga diperlukan bagi para pelapor tindakan korupsi di segala tingkatan masyarakat. Langkah terebut dapat berupa pemberian perlindungan secara hukum. Hal ini akan mendorong masyarakat untuk berani mengungkapkan kasus korupsi tanpa merasa takut akan mendapatkan efek buruk dari tindakan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Acemoglu, D., Johnson, S., & Robinson, J. A. (2005). Institutions as a fundamental cause of long-run growth. In P. Aghion & S. N. Durlauf (Eds.), Handbook of Economic Growth (pp. 385–472). Elsevier.
Chibba, M. (2009) Governance and Development: The Current Role of Theory, Policy and Practice. World Economics, 10, 79–108.
Daniel Kaufmann and Aart Kraay (2023). Worldwide Governance Indicators, 2023 Update (www.govindicators.org), Accessed on 10/25/2023.
Fukuyama, F. (2013). What is Governance? Governance 26:3, 347–368
Hassan, M., & Zeb, R. (2021). Analysing the impact of good governance on socio-economic development: A case study of Pakistan. NUST Journal of Social Sciences and Humanities, 7(1), 1–35. https://doi.org/10.51732/njssh.v7i1.73
Helliwell, J. F., Layard, R., Sachs, J. and De Neve, J. (2021). World Happiness Report 2021. New York, Sustainable Development Solutions Network.
Hope. K. R. Sr (2009) Capacity Development for Good Governance in Developing Societies: Lessons from the Field, Development in Practice, Volume 19, Number 1, February 2009.
Horhoruw, M. et al. (2012) Transforming the Public Sector in Indonesia: Delivering Total Reformasi. World Bank Publication. (March), 1–14. [online]. Available from: http://siteresources.worldbank.org/EXTGOVANTICORR/Resources/3035863-1289428746337/Transforming_Public_Sector_Indonesia.pdf.
Huther, J. and A. Shah (2005) A Simple Measure of Good Governance. In Anwar Shah (ed.). Public Services Delivery. Washington, DC: World Bank.
Kaufmann, D., Kraay, A., & Mastruzzi, M. (2011). The worldwide governance indicators: Methodology and analytical issues. Hague Journal on the Rule of Law, 3(02), 220–246.
Kaufmann, D., A. Kraay and P. Zoido-Lobatón (1999) Governance Matters, World Bank Policy. Research Working Paper №2196 (Washington), Retrieved from www.worldbank.org/wbi/- governance.
Knecht, A. (2012). Understanding and Fighting Poverty — Amartya Sen’s Capability Approach and Related Theories. Social Change Review, Vol. 10(2), 153–176.
Ndulu, B. J. and S. O’ Connell (1999) “Governance and Growth in Sub-Saharan Africa”, Journal of Economic Perspectives, 13: 3, 41–66.
North, D. (1990) “Institutions, Institutional Change, and Economic Performance”. Cambridge University Press, UK.
OECD. (2023). Economic Policy Making to Pursue Economic Welfare: OECD Report for the G7 Finance Ministers and Central Bank Governors. Paris: OECD.
Pickett, K., Mookherjee, J., Wilkinson, R. G. (2005). Adolescent Birth Rates, Total Homicides, and Income Inequality in Rich Countries. American Journal of Public Health, 95(7): 1181–1183.
Pickett, K. and Wilkinson, R. (2009). The Spirit Level: Why Greater Equality Makes Societies Stronger. Penguin.
Robinson, D. A. (2012). Why nations fail: the origins of power, prosperity, and poverty. New York: Crown Publisher.
Sen, A. (1999). Development as freedom. Oxford: Oxford University Press. Introduction
Thoha, M. (2012) Government Bureaucracy and the Power in Indonesia (Birokrasi Pemerintah dan Kekuasaan di Indonesia). Suraji (ed.). Yogyakarta: Matapena Institute
Todaro, M. P., & Smith, S. C. (2012). Economic Development: Eleventh Edition. New York: Addison-Wesley.
UNDP Human Development Report. (2022). Inequality-Adjusted Human Development Index (IHDI). Retrieved from https://hdr.undp.org/inequality-adjusted-human-development-index#/indicies/IHDI
United Nations Development Programme. (2022). Inequality and social security in the Asia-Pacific region. Bangkok: UNDP.
World Bank. (2022). World Development Indicators. Retrieved from https://databank.worldbank.org/reports.aspx?source=2&series=SI.POV.GINI
Zeb, M. H. (2021). Analysing the Impact of Good Governance on Socio-Economic Development: A Case Study of Pakistan. NUST Journal of Social Sciences and Humanities, Vol. 7 №1, 1–35.