Membedah Konsep Perdagangan Karbon: Urgensi IDXCarbon

DESC FEB UNDIP
9 min readOct 21, 2023

--

“ Climate change is no longer some far-off problem; it is happening here, it is happening now.” -Barack Obama

Pada prinsipnya, bursa merupakan pasar yang memfasilitasi jual beli surat berharga. Indonesia memiliki berbagai macam bursa, seperti bursa efek untuk menjual belikan surat berharga, bursa berjangka yang menjual komoditi berdasarkan kontrak, dan yang terbaru adalah bursa karbon. “Bursa karbon Indonesia akan menjadi salah satu bursa karbon terbesar dan terpenting di dunia karena volume maupun keragaman unit karbon yang diperdagangankan dan kontribusinya kepada pengurangan emisi karbon nasional maupun dunia,” kata Mahendra dalam siaran pers. Namun perlukah adanya perdagangan karbon? Bagaimana mekanismenya itu sendiri? Dampak apa yang akan dihasilkan dari adanya perdagangan di bursa karbon? Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat kita ulas dalam kajian ini dengan melihat konsep dari sistem perdagangan karbon.

Perdagangan Karbon

Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCC) sebagai entitas dari PBB yang mendukung respons global terhadap perubahan iklim dunia. Tujuan utamanya menjaga terjadinya peningkatan suhu rata-rata global dan menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer dengan tingkat yang aman terhadap interaksi manusia dengan iklim. Ekosistem akan beradaptasi secara alami terhadap perubahan iklim dalam jangka waktu tertentu dengan tingkat gas rumah kaca, dan memastikan ketersediaan pangan yang mendukung terjadinya pembangunan ekonomi berkelanjutan (Irama, 2020). Ini berarti perlu adanya suatu sistem untuk mengendalikan tingkat emisi yang dihasilkan oleh setiap negara.

Perdagangan karbon merupakan kompensasi yang diberikan negara yang industrinya memiliki dampak lingkungan, kompensasi ini diberikan kepada negara yang hutannya menyerap karbon. Selain itu, terdapat istilah carbon trading atau carbon management yang juga merupakan aktivitas jual beli sertifikat oleh perusahaan atau komunitas yang melakukan konservasi atau perawatan kepada hutan, diharapkan mengurangi emisi karbon. Sertifikat dibeli perusahan dunia untuk menunjukan kepada pemangku kepentingan mereka kalau mereka sudah menjalankan prinsip-prinsip sustainability.

Kebijakan perdagangan karbon memiliki kaitan erat dengan peristiwa iklim baik itu pemanasan global maupun perubahan iklim dunia. Dampak dari adanya perubahan iklim tersebut membuat sadar masyarakat global untuk melakukan tindakan nyata dalam meminimalisir dampak tersebut (Prihatiningtyas dkk., 2023). Pemanasan global juga kian dirasakan masyarakat global yang ditandai dengan kondisi suhu yang semakin meningkat serta kondisi cuaca yang tak menentu (Wahyuni & Suranto, 2021).

Ide untuk menerapkan solusi pembatasan dan perdagangan terhadap emisi karbon berawal dari Protokol Kyoto 1997, sebuah perjanjian PBB untuk mitigasi perubahan iklim yang mulai berlaku pada tahun 2005. Pada saat itu, hak mencemari udara yang dulunya diberi secara cuma-cuma kini bersifat terbatas, hak berpolusi dikonversi menjadi sertifikat surat berharga yang lalu dibagikan secara merata kepada semua perusahaan, tetapi aturan ini memberi peluang perusahaan membuang emisi melebihi batas regulasi. Langkah yang dibuat dari perjanjian itu bertujuan untuk mengurangi emisi karbon dioksida secara keseluruhan menjadi sekitar 5% di bawah tingkat tahun 1990 pada tahun 2012. Protokol Kyoto mencapai hasil yang beragam dan perpanjangan ketentuannya belum diratifikasi (Kenton, 2022).

Ketika suatu negara menggunakan bahan bakar fosil dan menghasilkan karbon dioksida, negara tersebut tidak terkena dampak langsung dari pembakaran bahan bakar fosil tersebut. Ada biaya yang dikeluarkan seperti harga bahan bakar, namun ada biaya lain yang tidak termasuk dalam harga bahan bakar. Inilah yang disebut dengan eksternalitas. Dalam kasus penggunaan bahan bakar fosil, eksternalitas ini sering kali merupakan eksternalitas negatif, artinya konsumsi produk mempunyai dampak negatif terhadap pihak ketiga.

Cap and Trade

Eksternalitas negatif yang dihasilkan oleh negara ataupun perusahaan harus diatasi dengan masalah kompensasi, dalam kasus ini perdagangan karbon mempunyai sistem cap and trade. Cap and trade didefinisikan sebagai pendekatan kebijakan untuk mengendalikan emisi dengan diterapkan batasan jumlah maksimum emisi per periode dari seluruh sumber yang disepakati (Taxsam, 2022). Cap and trade juga bisa seperti surat izin emisi karbon yang diterapkan ditiap perusahaan untuk mengeluarkan emisi hasil produksinya ditingkat tertentu. Izin mengeluarkan emisi karbon juga dapat berupa peraturan yang ditetapkan untuk setiap negara dalam rangka mengurangi dampak lingkungan akibat emisi karbon yang dikeluarkan.

Dalam sistem cap and trade, sebuah otoritas pusat menentukan batas atau cap jumlah karbon yang dapat dikeluarkan. Negara atau perusahaan kemudian diperbolehkan untuk mengeluarkan gas-gas rumah kaca sampai dengan jumlah yang dibatasi (Siregar, 2013). Di tiap negara juga menerapkan izin maksimal karbon yang dapat dikeluarkan oleh para perusahaan dengan menerapkan surat izin beremisi. Jika tidak menggunakan semua izinnya, perusahaan tersebut dapat menjual izin yang tidak digunakan ke perusahaan lain yang ingin mengeluarkan lebih banyak emisi karbon daripada yang diizinkan.

Negara bagian di California melaksanakan program cap and trade. Sekelompok negara bagian AS dan provinsi Canada berkumpul untuk menciptakan Inisiatif Iklim Barat Program energi cap and trade dimaksudkan untuk mengurangi polusi secara bertahap dengan memberikan insentif kepada perusahaan untuk berinvestasi dalam alternatif yang bersih (Kenton, 2022). Mekanisme cap and trade dapat diilustrasikan seperti ini:

Gambar 1. Mekanisme Cap and Trade. Sumber: DDTC News

Misalkan terdapat pabrik A dan Pabrik B, keduanya memiliki jatah maksimal emisi yang sama, namun pabrik A berhasil meminimalisir emisi dengan teknologi yang ramah lingkungan, di sisi lain pabrik B harus menambah jatah emisinya karena terjadi penambahan beban produksi. Ketika melebihi batas emisi yang polusi dihasilkan atau bisa disebut juga dengan offset, maka pabrik B harus menambah sertifikat berpolusi, solusinya dengan membelinya di pabrik A yang tidak memakai jatah maksimal berpolusinya.

Perusahaan dapat melakukan transaksi di bursa karbon sesuai dengan status permits yang dimiliki. Misal, perusahaan A dapat membeli permits sebanyak 10 juta ton CO2 dari perusahaan B. Setelah transaksi selesai, jumlah permits perusahaan A menjadi 50 juta ton CO2, sesuai dengan jumlah permits yang diizinkan, dan perusahaan B mendapatkan pendapatan dari penjualan permits sebesar 10 juta ton CO2 dikalikan dengan harga pasar karbon yang berlaku atau disepakati. Sementara itu, apabila perusahaan A memiliki defisit permits sebanyak 15 ton CO2, sedangkan perusahaan B memiliki surplus permits sebanyak 10 ton CO2, maka masih terdapat defisit permits sebanyak 5 ton CO2 yang harus di-offset oleh perusahaan A. Untuk meng-offset defisit permits ini, perusahaan A dapat mencari perusahaan lain yang memiliki surplus permits. Misal terdapat perusahaan C yang memiliki surplus permits sebanyak 8 ton CO2, maka perusahaan A dapat meng-offset defisit permits-nya dengan membeli surplus permits dari perusahaan B sebanyak 10 ton CO2, dan sebanyak 5 ton CO2 dari perusahaan C. Sebagai alternatif, perusahaan dapat meminjam permits yang dimilikinya untuk tahun depan untuk memenuhi target permits-nya tahun ini. Namun apabila perusahaan A memiliki kelebihan permits, maka permits ini dapat disimpan (banking) untuk digunakan lagi tahun depan (Irama, 2020).

Terdapat cara lain bagi pabrik B untuk mengatasi masalah emisi karbonnya dengan menggunakan Clean Development Mechanism (CDM), metode ini dilakukan dengan membuat proyek ramah lingkungan di negara berkembang, misal membangun listrik tenaga angin di Kamboja atau tenaga surya di India. Selain CDM, terdapat REDD+ dengan skema korporasi yang menginvestasikan dana untuk mencegah kerusakan hutan di negara penghasil karbon. Sama seperti CDM, perusahaan yang sukses menjaga hutan akan diberi penambahan kredit karbon untuk kegiatan produksi mereka.

Pajak Karbon vs Bursa Karbon

Pajak karbon dan bursa karbon merupakan hal yang berbeda tetapi keduanya memiliki tujuan yang sama untuk mengurangi efek emisi karbon. Perbedaanya terdapat dalam sistem yang diberlakukan, pajak karbon diterapkan dalam bentuk pinalti bagi pelaku usaha yang menghasilkan emisi melebihi tingkat maksimal dalam aktivitas produksinya yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Misalnya dalam suatu kilang minyak menghasilkan 1 juta ton CO2 selama satu tahun. Sementara itu, pemerintah menetapkan tingkat emisi maksimal hanya 800.000 ton per tahun. Perusahaan kilang minyak tersebut harus membayar pajak karbon atas 200.000 ton CO2 yang dihasilkan. Dengan demikian, pajak karbon tidak dikenakan pungutan sepanjang tingkat emisi yang dihasilkan masih di bawah batas ketentuan pemerintah.

Dalam bursa karbon, kita tidak mengenal sistem pinalti atau pungutan pajak atas kelebihan emisi yang dihasilkan akibat aktivitas produksi pelaku usaha. Biasanya setiap sector usaha diberikan kredit karbon atau batas mengeluarkan karbon tiap tahunnya. Jika perusahaan melebihi batas karbonnya maka wajib membeli kekurangan kredit karbon tersebut, sistem ini yang kita sudah disebutkan dalam pembahasan sebelumnya, yaitu Cap and Trade.

IDXCarbon

Saat ini, negara-negara yang sudah melakukan perdagangan karbon dalam bursa diantaranya seperti negara-negara Uni Eropa, Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, Jepang. Dengan bursanya antara lain, European Climate Exchange, NASDAQ OMX Komoditas Eropa, PowerNext, Commodity Exchange Bratislava, Bursa Energi Eropa, Carbon Trade Exchange, Chicago Climate Bursa (Siregar, 2013).

Menurut siaran pers Bursa Karbon Indonesia pada tanggal 23 September 2023, secara resmi meluncurkan Brusa Karbon Indonesia atau IDXCarbon. IDXCarbon terhubung dengan Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN-PPI) milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sehingga mempermudah administrasi perpindahan unit karbon dan menghindari double counting. Pelaku Usaha berbentuk Perseroan yang memiliki kewajiban dan memiliki komitmen untuk secara sukarela menurunkan emisi Gas Rumah Kaca, dapat menjadi Pengguna Jasa IDXCarbon dan membeli Unit Karbon yang tersedia. Perseroan dapat mendaftarkan diri terlebih dahulu dengan mengisi Formulir Pendaftaran Pengguna Jasa IDXCarbon yang tersedia pada website idxcarbon. Selain itu, pemilik proyek yang sudah memiliki Unit Karbon yang tercatat di SRN-PPI, dapat menjual Unit Karbonnya melalui IDXCarbon.

Gambar 2. Konsep Perdagangan Karbon. Sumber: Kompas.id

Dalam bursa karbon Indonesia terdapat dua barang yang diperjualbelikan, yaitu Pesetujuan Teknis mengenai Batas atas Emisi Gas Rumah Kaca (PTBAE) dan Sertifikat Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (SPE GRK). PTBAE secara prinsip sebagai batas maksimal emisi karbon yang boleh dikeluarkan oleh suatu perusahaan yang ditetapkan oleh pemerintah. Hal ini seperti Cap and Trade. PTBAE ini sendiri ditetapkan oleh pemerintah dan untuk saat ini, berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia No. 16 Tahun 2022, hanya perusahaan yang memiliki pembangkit listrik uap batu bara saja yang diberikan cap. Untuk kedepannya semakin banyak sektor dan pelaku usaha yang diberikan cap sehingga wajib untuk mengikuti perdagangan karbon.

Sedangkan SPE GRK merupakan sertifikat yang mensertifikasi penurunan emisi gas rumah kaca oleh perusahaan atau kegiatan yang dilakukan dan dicatat dalam SRN PPI dalam bentuk nomor registrasi atau kode. Jadi nantinya, setiap satu SPE GRK merepresentasikan pencapaian perusahaan dalam mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar satu ton karbon dioksida. Pada 27 September 2023, harganya diperdagangkan seharga Rp77.000 per unit. Berdasarkan data SRN PPI, sampai 27 September 2023 perusahaan yang memiliki SPE GRK hanya PT PJB UP Muara Karang, PT Pertamina Geothermal Energy Tbk, dan PT UPC Sidrap Bayu Energi (Ahdiat, 2023).

Dengan adanya bursa karbon diharapkan penjualan karbon akan tersistematis dan penentuan harga acuan karbon jadi lebih mudah. Bursa karbon juga memiliki upaya yang membantu pemerintah dalam menekan emisi gas rumah kaca, terlebih di Indonesia saat ini sedang dihadang polusi udara yang tinggi, terutama daerah ibu kota.

Permasalahan Perdagangan Karbon

Karbon yang diperjualbelikan di pasar karbon yang tujuannya untuk memfasilitasi negara-negara yang ingin melakukan kompensasi terhadap emisi karbon yang dihasilkan. Dapat dilihat bahwa perdagangan ini merupakan hal yang menarik dan menguntungkan, terlebih sistem ini dapat mendukung pengendalian pemanasan global. Tentu saja, dibalik sistem yang menarik terdapat masalah yang mungkin dapat timbul dari adanya bursa karbon. Salah satunya terkait integritas lingkungan (Tampubolon, 2022). Menurut Bhima, Direktur Celios, dalam Republika bursa karbon perlu menjaga integritas, berarti unit karbon dari hutan harus dijamin tidak mengalami deforestasi, kebakaran hutan, dan perusakan ekosistem yang bisa menurunkan nilai dari karbon yang diperdagangkan.

Berdasarkan artikel Mutu International pelaksanaan bursa karbon dapat menyebabkan campur tangan politik dan memberikan pengaruh besar pada efektivitas perdagangan karbon. Namun terkadang, taktik politik yang kurang tepat bisa menyebabkan jatuhnya harga karbon di pasar. Masalah lain terkait efektivitasnya dalam mengurangi emisi masih kerap dipertanyakan. Sebab, tidak ada jaminan bahwa negara-negara yang terlibat akan benar-benar mengurangi emisi mereka. Diperlukan sistem yang ketat dan efisien untuk memastikan bahwa setiap perusahaan mematuhi aturan dan batas emisi yang ditetapkan. Tanpa pengawasan dan penegakan yang tepat, pelaksanaannya bisa tidak efektif dan rawan menimbulkan kecurangan.

Ditulis oleh Muhammad Irzal Azqo Fanani

Referensi

Ahdiat, A. (2023). Sertifikat Pengurangan Emisi Berharga di Bursa Karbon, Siapa yang Punya? Https://Databoks.Katadata.Co.Id/Datapublish/2023/09/27/Sertifikat-Pengurangan-Emisi-Berharga-Di-Bursa-Karbon-Siapa-Yang-Punya.

Intan, N. (2023, September 29). Ini Catatan Ekonom Supaya Perdagangan Karbon di Indonesia Meriah. Https://Esgnow.Republika.Co.Id/Berita/S1q1rg490/Ini-Catatan-Ekonom-Supaya-Perdagangan-Karbon-Di-Indonesia-Meriah.

Irama, A. B. (2020). PERDAGANGAN KARBON DI INDONESIA: KAJIAN KELEMBAGAAN DAN KEUANGAN NEGARA. https://fiskal.kemenkeu.go.id/

Kenton, W. (2022, September 1). Carbon Trade: Definition, Purpose, and How Carbon Trading Works. Https://Www.Investopedia.Com/Terms/c/Carbontrade.Asp.

Mutu International. (2023, August 6). Carbon Trading: Kelebihan, Kekurangan, Regulasi, dan Dampak. Https://Mutucertification.Com/Carbon-Trading/.

Prihatiningtyas, W., Wijoyo, S., Wahyuni, I., & Fitriana, Z. M. (2023). PERSPEKTIF KEADILAN DALAM KEBIJAKAN PERDAGANGAN KARBON (CARBON TRADING) DI INDONESIA SEBAGAI UPAYA MENGATASI PERUBAHAN IKLIM. 7(2), 163–186. https://doi.org/10.24246/jrh.2022.v7.i2.p163-186

Siregar, B. S. (2013). Indonesia Produsen Emisi Karbon Dunia. Indonesia Produsen Emisi Karbon Dunia.

Tampubolon, R. M. (2022). PERDAGANGAN KARBON: MEMAHAMI KONSEP DAN IMPLEMENTASINYA. https://legal-planet.org

Taxsam. (2022). Mengenal Cap-And-Trade Karbon. Https://Taxsam.Co/News/Mengenal-Cap-and-Trade-Karbon#:~:Text=Cap%2Dand%2Dtrade%20diartikan%20sebagai,Memeroleh%20pengaruh%20lingkungan%20yang%20diinginkan.

UNFCC. (n.d.). United Nations Climate Change. Https://Unfccc.Int/.

Wahyuni, H., & Suranto, S. (2021). Dampak Deforestasi Hutan Skala Besar terhadap Pemanasan Global di Indonesia. JIIP: Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan, 6(1), 148–162. https://doi.org/10.14710/jiip.v6i1.10083

--

--

DESC FEB UNDIP
DESC FEB UNDIP

Written by DESC FEB UNDIP

Diponegoro Economic Student Community (DESC) FEB UNDIP is an autonomous organization of Economics Department.

No responses yet