Kendaraan Listrik untuk 0 Emisi atau Omon-Omon?: Analisis Efektivitas Penggunaan Kendaraan Listrik untuk Mengurangi Emisi Karbon

DESC FEB UNDIP
8 min readMay 18, 2024

--

Oleh : Rinto Martinus, Lia Nora

sumber : https://www.oto.com/berita-mobil/presiden-jokowi-resmikan-pabrik-hyundai-dan-tengok-mobil-listrik-ioniq-5

Penggunaan kendaraan listrik — juga dikenal sebagai EV — meningkat di seluruh dunia pada 2019. Tren ini mulai menyebar ke negara-negara lain di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Jumlah orang yang lebih suka menggunakan kendaraan listrik telah meningkat karena banyak alasan. Beberapa di antaranya adalah kesadaran masyarakat yang semakin meningkat tentang bahaya yang disebabkan oleh polusi, teknologi baterai yang semakin hemat bahan bakar dan lebih murah.

Salah satu banyak manfaat kendaraan listrik adalah kemampuan untuk mengurangi emisi karbon secara signifikan. Di tengah kekhawatiran yang semakin meningkat tentang masalah iklim, kendaraan listrik dianggap sebagai salah satu cara penting untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh sektor transportasi. Kendaraan listrik dapat membantu mengurangi polusi udara dan meningkatkan kualitas hidup di kota-kota karena, dibandingkan dengan mesin pembakaran internal yang menggunakan bahan bakar fosil, mereka beroperasi dengan emisi nol di titik penggunaannya.

Selain itu, keyakinan bahwa kendaraan listrik akan menjadi cara transportasi yang lebih bersih dan berkelanjutan di masa depan diperkuat oleh ekspansi infrastruktur pendukung seperti stasiun pengisian daya yang semakin meluas dan peningkatan kapasitas produksi energi terbarukan. Dengan berbagai keuntungan yang mereka tawarkan, tidak mengherankan jika penggunaan kendaraan listrik terus meningkat. Dengan demikian, kendaraan listrik diharapkan akan memainkan peran penting dalam upaya untuk mencapai target pengurangan emisi karbon dan memitigasi dampak perubahan iklim di seluruh dunia.

Menurut sejumlah studi dan laporan, penggunaan kendaraan listrik di Indonesia telah terbukti efektif dalam mengurangi emisi karbon. Misalnya, PT PLN (Persero) mengatakan bahwa kendaraan listrik dapat mengurangi emisi hingga 56%. Perhitungan ini didasarkan pada perhitungan bahwa 1 liter bahan bakar minyak (BBM) menghasilkan sekitar 2,4 kg CO2, sementara 1,2 kWh listrik hanya menghasilkan sekitar 1,02 kg CO2.

Selain itu, pengembangan energi baru terbarukan (EBT) untuk pembangkit listrik juga akan semakin mengurangi emisi kendaraan listrik seiring waktu​. Studi lain menunjukkan bahwa penggunaan kendaraan listrik berpotensi signifikan dalam mengurangi polusi udara di daerah perkotaan seperti Jakarta, yang sangat dipengaruhi oleh emisi dari kendaraan bermotor konvensional​.

Dengan langkah-langkah ini, Indonesia dapat mencapai target pengurangan emisi karbon yang telah ditetapkan dalam kontribusi yang ditentukan secara nasional (NDC), yaitu pengurangan 29% secara mandiri dan hingga 41% dengan bantuan internasional pada tahun 2030

Pemerintah Indonesia telah mengambil berbagai langkah untuk mendorong adopsi kendaraan listrik melalui pemberian subsidi dan insentif. Langkah-langkah tersebut meliputi:

1. Subsidi Pembelian Kendaraan Listrik

Pemerintah memberikan insentif berupa pembebasan atau pengurangan pajak untuk kendaraan listrik, termasuk pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) dan bea masuk impor untuk komponen kendaraan listrik. Seluruh insentif fiskal yang telah diberikan sejak tahun 2019 hingga tahun 2023 secara akumulatif telah mencapai 32 persen dari harga jual mobil listrik dan mencapai 18 persen untuk harga jual kendaraan motor berbasis listrik (Kompas, 2023). Pada tahun 2023, tambahan insentif fiskal diperkirakan mencapai Rp1,75 triliun untuk subsidi 250.000 motor listrik. Pada tahun 2024, bahkan insentif fiskal diperkirakan mencapai Rp5,25 triliun untuk 750.000 motor listrik baru (Kompas, 2023).

2. Insentif Non-Fiskal

  • Pembebasan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) : Beberapa daerah di Indonesia memberikan pembebasan atau pengurangan PKB untuk kendaraan listrik.
  • Pembebasan Biaya Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB): Selain PKB, beberapa daerah juga memberikan insentif berupa pembebasan atau pengurangan biaya balik nama kendaraan listrik.

3. Pengembangan Infrastruktur Pengisian Daya

  • Pembangunan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU): Pemerintah bekerja sama dengan perusahaan listrik negara (PLN) dan sektor swasta untuk mempercepat pembangunan SPKLU di berbagai lokasi strategis.
  • Insentif untuk Pembangunan SPKLU: Insentif berupa kemudahan perizinan dan tarif listrik khusus untuk operator SPKLU.

4. Dukungan Riset dan Pengembangan

  • Pendanaan R&D: Pemerintah menyediakan dana untuk penelitian dan pengembangan teknologi kendaraan listrik dan baterai.
  • Kerjasama dengan Akademisi dan Industri: Mendorong kolaborasi antara universitas, lembaga penelitian, dan industri otomotif untuk mengembangkan teknologi kendaraan listrik yang lebih efisien dan terjangkau.

5. Kampanye dan Edukasi Publik

  • Program Sosialisasi: Melakukan kampanye nasional untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai manfaat kendaraan listrik bagi lingkungan dan ekonomi.
  • Pendidikan dan Pelatihan: Menyediakan program pelatihan untuk teknisi dan mekanik agar siap dalam menghadapi perawatan dan perbaikan kendaraan listrik.

6. Penggunaan Kendaraan Listrik oleh Pemerintah

  • Elektrifikasi Armada Pemerintah: Penggunaan kendaraan listrik untuk armada pemerintah, termasuk transportasi umum, kendaraan dinas, dan layanan publik lainnya.
  • Pengadaan Kendaraan Listrik: Prioritas pada pengadaan kendaraan listrik dalam proyek-proyek pemerintah.

Berdasarkan Perpres Nomor 55 Tahun 2019 dan pernyataan pemerintah pada Konferensi Pers Insentif KBLBB tanggal 6 Maret 2023, setidaknya terdapat 2 tujuan utama diberikannya insentif bagi KBLBB yaitu upaya pemerintah dalam menurunkan emisi Gas Rumah Kaca ( GRK) dan pengembangan industri KBLBB di Indonesia.

Dibalik dampak positif yang diberikan dari penggunaan kendaraan listrik, mari melihat sisi negatif dari dampak penggunaan kendaraan listrik

Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, (2022).

Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, (2022).

Laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) dan Laporan Monitoring, Pelaporan, Verifikasi (MPV) yang dirilis oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun 2022 menunjukkan bahwa, dari tahun 2000 hingga 2020, sektor energi terus menjadi penyumbang emisi GRK terbesar di negara ini. Bahkan, dari tahun 2000 hingga 2020, tren tersebut cenderung meningkat. Per tahun 2020, sektor energi berkontribusi sebesar 56% terhadap emisi gas rumah kaca (GRK) di Indonesia. Jika kita melihat subsektornya, proses produksi listrik berkontribusi terbesar, menyumbang 47,81% dari total emisi GRK sektor.

Selain itu, industri manufaktur dan transportasi berkontribusi terbesar kedua dan ketiga terhadap emisi gas rumah kaca (GRK) di sektor energi, masing-masing berkontribusi sebesar 18,08 persen dan 23,14 persen dari total emisi GRK di sektor tersebut, seperti yang ditunjukkan pada gambar 1 dan 2. Gambar 2 menunjukkan bahwa industri manufaktur dan transportasi adalah dua sub sektor energi yang paling banyak berkontribusi terhadap emisi GRK. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa bahan bakar minyak (BBM) masih merupakan sumber energi untuk sebagian besar transportasi modern (KLHK, 2022). Uraian di atas memberikan gambaran singkat tentang bagaimana upaya pemerintah untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dengan memberikan subsidi penjualan kendaraan listrik akan berdampak. Karena sumber daya listrik masih terdiri dari batubara dan energi fosil lainnya, upaya pemerintah untuk mendorong penggunaan kendaraan listrik tidak akan menghasilkan penurunan emisi GRK yang signifikan, hanya mengubah komposisi emisi. Selain mendorong kendaraan bermotor untuk beralih ke energi listrik, pemerintah Indonesia harus serius mengembangkan Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Ini akan memastikan bahwa energi listrik yang digunakan oleh KBLBB benar-benar berasal dari sumber energi yang ramah lingkungan.

Kemungkinan Kendaraan Listrik Dampak Subsidi

Kebijakan subsidi untuk pembelian KBLBB tidak hanya tidak efektif dalam mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK), tetapi juga berdampak buruk pada lingkungan karena limbah baterai kendaraan listrik meningkat, yang sulit didaur ulang, dan jumlah kendaraan bermotor di Indonesia meningkat. Limbah baterai kendaraan listrik termasuk dalam kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Dengan insentif dan dorongan yang kuat dari pemerintah untuk meningkatkan penggunaan kendaraan listrik di Indonesia, limbah baterai kendaraan listrik mungkin akan meningkat dalam beberapa tahun ke depan. Untuk mencegah hal ini terjadi, pemerintah harus membuat peraturan yang tepat untuk mengelola limbah baterai kendaraan listrik agar tidak mencemari lingkangnya. Dampak negatif kebijakan subsidi pembelian KBLBB terhadap lingkungan kedua adalah kemungkinan meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor di Indonesia. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), sampai dengan tahun 2021, ada 141,9 juta kendaraan beroperasi di Indonesia, dengan 120 juta sepeda motor dan 16,4 juta mobil penumpang, dengan proporsi sepeda motor dan mobil penumpang mencapai 96,1 persen dari total kendaraan bermotor. Pertumbuhan kendaraan bermotor rata-rata per tahun sebesar 4,53 persen dan nantinya kebijakan subsidi KBLBB akan meningkatkan jumlah kendaraan bermotor yang beroperasi di jalan. Dengan adanya subsidi tersebut, tidak ada jaminan bahwa orang akan beralih dari kendaraan berbasis BBM ke kendaraan listrik. Sebaliknya, subsidi tersebut akan mendorong orang yang selama ini belum mampu memiliki kendaraan untuk membelinya dengan harga yang terjangkau, dan ini akan mendorong orang untuk memiliki lebih banyak memiliki kendaraan, yang pada gilirannya akan meningkatkan kepadatan di jalan raya.Menurut rasio luas panjang jalan terhadap total kendaraan bermotor, setiap satu kilometer jalan memiliki 260 kendaraan secara nasional. Di sisi lain, DKI Jakarta, D.I. Yogyakarta, dan Jawa Tengah adalah provinsi dengan rasio kendaraan bermotor tertinggi, dengan 3.231 kendaraan per kilometer jalan di DKI Jakarta, D.I. Yogyakarta dan Jawa Tengah dimana terdapat 685 dan 617 kendaraan bermotor pada setiap satu kilometer

Perbaikan Tata Kelola Transportasi Umum Sebagai Solusi Turunkan GRK

Diharapkan bahwa penyediaan transportasi umum yang terintegrasi akan menjadi salah satu cara terbaik untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Selain itu, diharapkan bahwa penyediaan transportasi umum akan mengurangi dampak limbah baterai listrik dan mengurangi kepadatan kendaraan di jalan. Studi yang dilakukan oleh United Nations (2020) menunjukkan bahwa penggunaan transportasi umum dapat menurunkan emisi sebesar 2,2 ton karbon per orang per tahun. Studi yang dilakukan oleh American Public Transportation Association (APTA) juga menunjukkan bahwa penggunaan transportasi publik dapat menurunkan emisi sebesar 37 juta metrik ton per tahun (DBS, 2022). Diharapkan tata kelola transportasi umum di Indonesia akan mendorong orang untuk menggunakan transportasi umum. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh World Bank (2021) menemukan bahwa jika orang ingin menggunakan transportasi publik untuk mengurangi emisi karbon, mereka harus melakukan empat hal berikut: (1) memperbaiki infrastruktur transportasi publik sehingga lebih terintegrasi, mencakup seluruh kota, dan mudah diakses oleh semua orang; (2) meningkatkan layanan angkutan umum sehingga total waktu perjalan menjadi cepat dan waktu tunggu transportasi (3) meningkatkan kualitas layanan tata ruang wilayah; (4) manajemen transportasi meliputi kebijakan parkir dan pengenaan biaya terhadap penggunaan jalan, untuk mendorong masyarakat beralih ke transportasi umum. Selain itu, temuan survei Resilience Development Initiative yang dilakukan oleh Greenpeace pada tahun 2022 menunjukkan bahwa hampir semua orang yang disurvei ingin menggunakan transportasi umum, menurut studi World Bank tahun 2021. Namun, menurut penelitian tersebut, masyarakat bahkan bersedia membayar lebih mahal untuk mendapatkan akses transportasi umum yang lebih baik. Mereka rela membayar lebih mahal untuk mendapatkan layanan transportasi publik yang lebih memadai, terutama dalam hal waktu tunggu dan kemudahan akses. Untuk mendorong orang untuk beralih ke transportasi umum, pemerintah harus menerapkan pajak karbon untuk kendaraan pribadi secara tegas.

Daftar Referensi

Badan Pusat Statistik. (2022). Statistik Transportasi Darat Tahun 2020 dan 2021.

Badan Kebijakan Fiskal. (2022). Dorong Industri Kendaraan Listrik Berbasis Baterai, Kemenkeu Tetapkan Kebijakan Bea Masuk Nol Persen. Diakses dari: https://fiskal.kemenkeu.go.id/publikasi/ siaran-pers-detil/381.

Greennetwork. (2022). Urgensi Solusi Daur Ulang Baterai Kendaraan Listrik. Diakses melalui: https://greennetwork.id/ opini/urgensi-solusi-daur-ulang-baterai kendaraan-listrik/.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2022). Laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) dan Monitoring, Pelaporan, Verifikasi (MPV).

Kompas. (2023). Konferensi Pers: Pemerintah Umumkan Bantuan Untuk Kendaraan Listrik Berbasis Baterai. Diakses melalui: https://www.youtube. com/watch?v=pqzOCX2_sAM. Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program KBLBB untuk Transportasi Jalan.

World Bank. (2021). Decarbonizing Cities By Improving Public Transport And Managing Land Use and Traffic.

United Nations. (2020). Your Guide to Climate Action: Transport. Diakses melalui: https://www.un.org/en/actnow/ transport.

--

--

DESC FEB UNDIP
DESC FEB UNDIP

Written by DESC FEB UNDIP

Diponegoro Economic Student Community (DESC) FEB UNDIP is an autonomous organization of Economics Department.

No responses yet